Jumat, 10 Agustus 2012

Pengembangan Peranan Perempuan Indonesia dalam Sektor Publik Bangsa


Usia muda memang penuh dinamika, gejolak dan berbagai tantangan. Kegagalan yang merupakan peluang, dan kesuksesan dari hasil buah perjuangan. Realita melingkupi kondisi dimana segala sesuatunya yang dikatakan dinamis sangatlah tipis, sehingga segala hal yang dinamis pun bisa menjadi sangatlah relatif.Terkadang emosi sering mendominasi dalam setiap pengambilan keputusan dan ketika itu bersinergis dengan idealisme, maka seringkali memunculkan ide-ide besar yang progresif dan revolusioner. Keberadaan para pemuda diharapkan memiliki gagasan segar dalam mengisi setiap jengkal kebijakan yang lebih mengedepankan kepentingan besar diatas kepentingan pribadi atau kelompok dengan idealismenya hingga berpeluang untuk dapat terjadi suatu perbaikan dalam setiap momentum perubahan bangsa.


Namun bisa dirasakan peran para kaum muda semakin hari semakin redup bahkan nyaris tak terdengar. Eskalasi gerakan pemuda dalam menyikapi isu sosial kemasyarakatan di tingkat regional dan nasional seakan berjalan fluktuatif bahkan terbilang minim gerakan yang massif dan radikal. Situasi dan kondisi  yang mengalami fluktuasi gerakan bahkan menurun dalam menyikapi isu ekonomi, sosial, politik di masyarakat memposisikan gerakan dalam situasi yang tidak berkembang maju dalam dinamika perubahan di negeri ini. Perlahan gerakan pemuda yang dikenal militan dan kritis dalam menyikapi isu sosial masyarakat serta menyebarluaskan isu tersebut kepada masyarakat seolah menurun drastis. Peran sentral gerakan para pemuda sebagai penyambung lidah rakyat terancam semakin terkikis dan hilang.  Posisi gerakannya yang berjalan lambat dalam merespons isu sosial kemasyarakatan dan minimnya tingkat kekritisan dalam hal wacana kemungkinan menyebabkan gerakan menjadi tidak solid. Sehingga daya tawar gerakan pemuda dalam mengupayakan perubahan sosial di hadapan masyarakat semakin tersubordinasi oleh persoalan-persoalan dalam gerakan internal sendiri.
Dengan minim gagasan-gagasan besar lahir, seakan larut dalam sistem yang terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan konservatif. Budaya materialistik dan hedonisme juga mengidap dikalangan politisi muda saat ini. Paradigma tentang pembangunan ekonomi dengan kecenderungan kepada penguasaan materi lebih mendominasi dibandingkan dengan paradigma tentang kebijakan yang bersifat imaterial dengan penguatan nilai religius, padahal nilainya mempunyai peran mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan materialistik tersebut, sekalipun hal itu tidak mengizinkannya menjadi sesuatu yang sangat dominan. Kondisi inilah yang membuat para pemuda semakin rawan tersandera dan terjebak dalam situasi sangat sulit, hingga berdampak pada agresifitasnya untuk melakukan perubahan dan perbaikan karena mereka pun menjadi bagian dari permainan (role of game).

Berbicara tentang generasi muda, tentunya tak luput dari pembahasan mengenai kepemimpinan. Pemimpin yang berarti seorang panutan dalam keharusannya memiliki beragam keterampilan untuk dapat merangkul segala golongan. Bisa juga dikatakan bahwa kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Bila dianalogikan, kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orang-orang istimewa yang berhasil tampil di depan. Orang-orang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir, pencipta dan serta ahli organisasi. Mereka ada bukan hanya dilahirkan untuk menjadi pemimpin, tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu proses pembelajaran. Karena nilai tawarnya berdasarkan ketinggian moralitas, perilaku serta tindakan-tindakan yang telah teruji waktu menunjukan “kelayakan” dari kualitas mereka. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana dalam menjalankan tugasnya tentu tidak hanya bertanggungjawab terhadap masalah-masalah internal mencakup pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia semata, namun secara eksternal juga dituntut memiliki tanggungjawab sosial kemasyarakatan atau akuntabilitas publik. Semakin sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas kepemimpinan pun akan semakin tinggi.

Dalam membangun karakter dan keunggulan pemuda ini, dibutuhkan peningkatan daya saing dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sistem efektif yang mampu memfilter pengaruh buruk dengan menanamkan nilai-nilai relijius, moral, dan sistem yang dapat meningkatkan pembangunan budi pekerti.Dan jika dengan terbiasa sudah mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, maka ketika berkuasa mereka akan dapat menebarkan nilai-nilai tersebut, selanjutnya sistem politik kita akan menuju ke arah yang lebih baik.  

Akan tetapi, secara kuantitas jumlah perempuan di Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Peran serta perempuan dalam kancah kemasyarakatan seharusnya memiliki potensi yang sangat besar. Namun hal ini belum dimaksimalkan oleh lingkungan (masyarakat) maupun pemerintah yang berfungsi sebagai lembaga yang harusnya memberikan track ke arah sana. Meski era reformasi memberikan angin segar bagi kaum perempuan dengan mendapat kesempatan lebih dalam hak politiknya dibanding Orde baru, tapi jika mempertanyakan posisi kaum perempuan pada dasarnya akan menggoncang status quo struktur dan sistem ketidakadilan yang telah mapan dan yang tertua dalam masyarakat karena menyangkut hubungan kekuasaan antar pribadi yang melibatkan semua orang.Kontruksi budaya patriarki di Indonesia, memberi pengaruh terhadap mereka untuk mencapai peran setara dengan laki-laki dalam ranah publik khususnya politik.Adanya konstruksi sosial masyarakat dengan sebutan perempuan yang diganti dengan sebutan wanita,  terkadang membuat posisi perempuan sesungguhnya masih dipertanyakan. Dari asal katanya saja, sebenarnya kata “perempuan” lebih halus daripada wanita. Kata “wanita” berasal dari kata “wani di tata, sedangkan kata “perempuan” berasal dari per-empu-an yang berarti perguruan. Wanita bukanlah makhluk yang harus diatur atau ditata, karena seorang ‘ibu’ yang menjadi pembuktian bahwa perempuan seharusnya lebih diagungkan dan setara derajatnya seperti halnya guru atau empu. Terbukti dalam konstruksi budaya tersebut, perempuan pada umumnya masih dianggap subordinat, mendapat stereotipe lemah, tidak kuat, manja dan dianggap perannya hanya mengurusi rumah tangga dan peran domestik lainnya.  Stereotipe dan mitos tersebut sangat menghambat perempuan terjun ke ranah publik, khususnya dalam peran politik. Perempuan juga mendapat banyak hambatan sebelum berkarier politik, karena dibenturkan oleh peran domestik dan biologisnya.
Sebut saja dalam partisipasi perempuan dalam politik masih sebatas mobilized partisipation yaitu partisipasi yang bukan dari kesadaran diri sendiri, melainkan karena dimobilisir oleh orang lain untuk berpartisipasi. Masih banyak kendala yang dihadapi oleh perempuan, dalam kaitan peran politiknya. Hal ini juga dipengaruhi oleh proses pendidikan di Indonesia, masih kurang berjalan dengan baik.

Peran perempuan Indonesia dalam proses pembangunan belum maksimal dan bahkan sebenarnya dikerdilkan dalam hal potensi. Pengerdilan terbukti, seperti jika membicarakan tentang Hari Ibu, maka konsep yang terpikir dalam benak hampir semua orang adalah seorang ibu rumah tangga, yaitu ibu yang melakukan pekerjaan rumah tangga atau bisa disebut pekerjaan domestik. Ketika berbicara mengenai ibu, jarang sekali dibayangkan perempuan-perempuan pekerja yang bekerja dari pagi sampai malam dan hanya ada di rumah pada pagi hari dan malam hari. Padahal konsep dari seorang ibu merupakan seorang perempuan yang merupakan guru dalam kehidupan, seseorang yang tangguh, memiliki jati diri yang unik dan memiliki potensi tersendiri tanpa harus dikukung oleh apapun, termasuk oleh stereotipeyang kuat sekali ditananamkan.

Dalam rangka penjelasan mengenai hal-hal di atas, tulisan ini akan menguraikan tentang bagaimana realitas para perempuan dalam perkembangannya mengikuti zaman sampai saat ini. Pertanyaan juga menyangkut mengapa perempuan dipersoalkan, dan apa sesungguhnya yang dipersoalkan dalam pembangunan peranan perempuan tersebut. Melalui berbagai pembahasannya, akan dibahas mengenai permasalahan-permasalahan terhambatnya perkembangan potensi generasi muda perempuan di Indonesia. Terakhir tulisan ini akan membahas mengenai berbagai strategi tentang bagaimana mengembangkan peran perempuan Indonesia dalam sektor publik bangsa serta implikasinya di kehidupan masyarakat.


Perkembangan Peranan Perempuan di Indonesia

Seiring perkembangan zaman tentunya negara selalu membutuhkan figur yang berwawasan ke depan dan mampu melihat segala aspek peluang pada setiap pergerakan.
Berbicara soal pergerakan perempuan Indonesia, sebenarnya tak terlepas dari kemajuan bangsa Indonesia sendiri. Gerakan emansipasi yang banyak didengungkan organisasi wanita barat sempat mem-booming dan direspon oleh para elit wanita Indonesia dengan melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, pada akhir tahun 1928. Ini dapat dikatakan sebagai kemerdekaan kaum perempuan, yang mendahului kemerdekaan negara Indonesia sendiri. Secara sosial budaya, peristiwa ini merupakan tonggak sejarah kemajuan wanita Indonesia. Bisa dibayangkan, dari peristiwa Kongres Perempuan Indonesia I respon perempuan Indonesia waktu itu, untuk mengadakan kongres adalah suatu proses perubahan sosial-budaya, yang merupakan bagian dari proses pembangunan masyarakat Indonesia. Secara socio-anthropologist, suatu pembangunan dapat dikatakan sebagai suatu proses yang secara sengaja diadakan untuk mendorong perubahan sosial budaya ke suatu arah tertentu. Sedangkan perubahan sosial budaya merupakan suatu proses perubahan yang mencakup antara lain menggeser hal-hal yang sudah ada, menggantikannya, mentransformasikannya, dan menambah yang baru, yang kemudian berdiri berdampingan dengan hal-hal uang sudah ada. Karena pada dasarnya setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Yang terpenting bagaimana usaha untuk berkembang dan mewujudkan semua impiannya. Bung karno pun pernah berkata “Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia” Fenomena ini menyampaikan pesan bahwa kaum muda merupakan ujung tombak sejarah yang dapat mengubah dan mengarahkan roda sejarah kemana yang mereka suka, dan bisa menetukan sebuah peradaban, termasuk sama halnya dengan kaum perempuan.

Persoalan dalam Pengembangan Peranan Perempuan

Persoalannya adalah pertama, karena konstruksi sosial mempengaruhi keyakinan serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya lelaki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Secara ringkas kebudayaan berisi sistem nilai, norma dan kepercayaan. Budaya dikembangkan dan diamalkan oleh masyarsakat pengembangnya, sehingga anggota masyarakat dalam wilayah budaya tersebut memiliki kecenderungan yang sama dalam hal mengamalkan sistem nilai, norma dan kepercayaan mereka. Dengan demikian dalam konteks ini budaya dapat dianggap sebagai instrumen untuk melihat kencenderungan perilaku pengembangnya. Masyarakat menciptakan perilaku pembagian ini untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan, untuk membedakan antara lelaki dan perempuan. Dalam prosesnya, keyakinan pembagian itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, baik dengan negosiasi, resistensi maupun dominasi. Sehingga lama kelamaan pembagian keyakinan tersebut dianggap sebagai alamiah, normal dan “kodrat”, dan bagi yang mulai melanggar akan dianggap tidak normal atau melanggar kodrat. Seiring dalam perkembangannya pun ditemukan ketidakadilan dalam mempersepsi dan memberi nilai serta dalam pembagian tugas antara lelaki dan perempuan. Ketidakadilan terhadap perempuan ini pun termanifestasi dalam berbagai bentuk diantaranya yakni Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, Subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, Stereotyping dan Diskriminasi atau pelabelan negatif, kekerasan (Violence), bekerja lebih panjang dan banyak (Double burden) serta sosialisasi ideologi nilai peran perempuan. Manifestasi ketidakadilan tersebut masing-masing tidak bisa dipisahkan, karena saling berkaitan dan mempengaruhi secara dialektika. Sekalipun pada aspek hukum sebenarnya sudah banyak undang-undang yang mengatur hak atas perempuan. Namun, karena tidak semua penegak hukum memahami dan memiliki perspektif yang sama dalam upaya penanganan terhadap permasalahan perempuan. Sehingga dengan adanya pengaruh budaya yang masih melekat, menjadi penghambat belum ada kesepahaman antara penyidik, penuntut umum, hingga hakim dalam menerapkan metode pembuktiannya.
Tak jarang karena budaya, perempuan dihadapkan atau dikonfrontasi dengan nilai-nilai sosial yang hukumnya lebih berat daripada hukum negara. Hingga bisa dikatakan perjuangan untuk perempuan adalah bukan semata-mata perjuangan yuridis, tetapi juga politis.

1.      Marginalisasi Perempuan

Banyak studi telah dilakukan membahas bagaimana program pembangunan telah memiskinkan kaum perempuan. Misalnya saja program revolusi hijau (Green Revolution) telah menyingkirkan secara ekonomis (memiskinkan) kaum perempuan dari pekerjaan mereka. Di Jawa misalnya, program ini dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi penggunaanani-ani, alat yang digunakan kaum perempuan. Akibatnya banyak perempuan miskin di desa menjadi termarginalisasi yakni tersingkir dari sawah. Ini berarti bahwa program revolusi hijau tersebut dirancang tanpa mempertimbangkan aspek perempuan. Marginalisasi terjadi juga karena adanya diskriminasi terhadap pembagian pekerjaan. Persoalannya timbul ketika jenis pekerjaan yang dikuasai oleh perempuan tersebut selalu dinilai lebih rendah. Contoh lain, “pembantu rumah tangga” yang mayoritas dikuasai oleh perempuan pekerjaannya lebih berat dibandingkan dengan “sopir rumah tangga”

2.      Subordinasi pada Peranan Perempuan

Bentuk subordinasi bermacam-macam, berbeda menurut tempat dan waktu. Contohnya saja karena anggapan bahwa perempuan emosional, maka ia tidak bisa memimpin, sehingga sering ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Dulu ada anggapan di Jawa bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tohakhirnya ia akan ke dapur. Bahkan pemerintah dulu pernah memiliki peraturan jika suami akan pergi belajar dia bisa memutuskan sendiri. Sementara istri yang hendak tugas ke luar negeri harus seizin suami. Di rumah tangga pun masih sering kita dengar jika keuangan mereka terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak mereka, maka anak lelaki yang mendapatkan prioritas. Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai “reproduksi” dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan “produksi” yang dikuasai kaum lelaki. Hal ini menyebabkan banyak lelaki dan perempuan sendiri akhirnya menganggap bahwa pekerjaan domestik dan “reproduksi” lebih rendah dan ditinggalkan. Subordinasi terhadap jenis pekerjaan perempuan ini ternyata tidak hanya terjadi di rumah tangga, namun juga terproyeksi di tingkat masyarakat.

Peran perempuan masih belum dioptimalkan, hal ini bisa dikarenakan beberapa faktor antara lain:
Pertama, perempuan masih dianggap sebagai objek politik, belum menempatkan perempuan sebagai subjek politik.
Kedua, keterwakilan perempuan sebagai pengambil sebuah kebijakan ditingkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif masih minim, menyebabkan aspirasi dari perempuan sedikit sehingga kebijakan yang diambil kurang sensitif gender. Kesadaran akan pentingnya peran serta perempuan juga tidak di imbangi oleh kebijakan-kebijakan yang responsif gender dalam partai politik. Masih sedikit partai politik yang memenuhi syarat peran serta perempuan mencapai kuota 30 %. Pencapaian kouta tersebut tidak akan maksimal, bila upaya dari partai politik untuk rekuitmen caleg perempuan minim. Meski jumlah penduduk Indonesia mayoritas perempuan sekitar 50 %. Akan tetapi keterwakilan perempuan dalam parlemen masih sedikit. Dalam hubungannya dengan pemilu, masih sedikit perempuan menduduki posisi sebagai anggota legislatif maupun eksekutif.
Dari data Divisi Perempuan dan Pemilu CETRO, partisipasi perempuan dalam DPR-RI sejak tahun 1950 sampai 1997 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun tapi masih dibawah 10 %. Sedang partisipasi perempuan tahun 1997-1999 adalah 54 perempuan (10,8 %) dan ditahun 1999-2004 dengan 46 perempuan (9 %), untuk Pemilu 2009 total calon legislatif (caleg) dalam DCT mencapai 11.301 orang. Dari jumlah itu, 7.391 di antaranya laki-laki, sedangkan 3.910 perempuan. Prosentase  caleg perempuan 34,60 persen.
Dengan ditetapkannya kuota 30 % untuk perempuan dalam parlemen, ini juga masih kurang menjadi problem solution untuk perempuan yang ingin berperan aktif dalam ranah politik. Kenyataannya, banyak partai politik yang tidak memenuhi kuota tersebut. Akan tetapi masih banyak kendala bagi perempuan, yang paling dekat saja mengenai biaya untuk berkampanye, atau biaya operasional untuk mencapai karir politiknya. Karena kebanyakan yang mencari nafkah adalah laki-laki.
Ketiga, yaitu aspek kultur. Perempuan masih disibukan oleh urusan-urusan yang lebih bersifat urusan domestik. Sehingga jika perempuan ingin berkiprah dalam ranah publik, masih banyak pertimbangan.

3.      Stereotip Atas Pekerjaan Perempuan

Stereotype adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu. Stereotype adalah bentuk ketidakadilan. Masyarakat dahulu banyak beranggapan bahwa tugas utama perempuan adalah melayani suami. Stereotype ini berakibat bahwa pendidikan kaum perempuan dinomorduakan. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan atau kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotype ini. Dalam kaitan dengan pekerjaan perempuan, karena anggapan lelaki adalah “pencari nafkah” keluarga, maka perempuan yang bekerja selalu dianggap “sambilan” atau “membantu” suami.

4.      Diskriminasi terhadap Perempuan

Meski hari perempuan sedunia telah diperingati nyaris satu abad yang lalu, perempuan Indonesia masih mengalami ancaman, intimidasi, dan segala bentuk diskriminasi.
Secara simultan, kebijakan diskriminatif terkadang dibarengi dengan segala rupa praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual, psikologis, sosial, dan fisik terhadap perempuan yang dilakukan atas nama agama mayoritas kemudian menghancurkan prinsip kebhinekaan Indonesia. Praktik ini juga menyebabkan adanya kelompok minoritas berada dalam ancaman segala bentuk kebebasannya.
Kemunculan Peraturan Daerah (perda) pada beberapa wilayah di tanah air dan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU APP) juga yang salah satunya menjadi perhatian masyarakat akibat pertentangan antara isi dan yang membuahkan pro kontra. Ketika pihak yang pro menyatakan UU ini sebagai perlindungan terhadap perempuan, sementara kontra menyatakan UU APP dan sejenisnya justru menempatkan perempuan sebagai “terdakwa”. Perempuan terkadang masih hidup dalam trauma psikis karena rumah mereka sebagai ruang aman dan arena kekuasaan bagi perempuan di kelompok yang dimarjinalkan kemudian dibakar dan dihancurkan, masjid perempuan yang menjadi tempat privasi perempuan beribadah diamuk massa, nasib pedagang perempuan dibatasi, dan juga ketakutan dari ancaman kekerasan seksual berupa pemerkosaan. Situasi tersebut seharusnya sukar terjadi karena pemerintah Indonesia telah meratifikasi CEDAW (Convention on the elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984 sehingga pemerintah  dapat bertanggung jawab untuk mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan.

Hambatan dalam Terwujudnya Pemberdayaan Perempuan di Indonesia

Hal-hal yang masih kurang dalam terwujudnya Pemberdayaan Perempuan di Indonesia adalah peluang dan penghargaan terhadap perempuan. "Perempuan adalah mahluk rasional" juga, maka wajar jika mereka menuntut hak yang sama dengan lelaki. Kaum perempuan harus dididik agar mampu bersaing dalam arena kesempatan, yakni memasuki prinsip-prinsip maskulinitas. Mereka tidak mempermasalahkan ketidakadilan struktural dan penindasan ideologi patriaki. Paham ini mendominasi pemikiran tentang perempuan. Misalnya, paham modernisasi yang menganggap perempuan masalah bagi perkembangan ekonomi moderen atau partisipasi politik. Revolusi terjadi pada setiap perempuan yang mengambil aksi untuk mengubah gaya hidup, pengalaman dan hubungan mereka sendiri. Karena lelaki mengontrol produksi untuk exchange, otomatis kebanyakan dari mereka mendominasi hubungan sosial dan politik, termasuk karena direduksinya perempuan menjadi bagian dari property belaka. Setelah revolusi pun, garansi persamaan bagi lelaki dan perempuan belumlah cukup, karena perempuan masih dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Kini, hampir semua kaum feminis maupun pertanyaan mengenai nasib perempuan selalu menggunakan analisis gender untuk memberi makna terhadap realitas sosial. Bahkan analisis gender dewasa ini telah dipergunakan bagi setiap organisasi maupun perencanaan pembangunan yang menyangkut masalah sosial.

Strategi Pengembangan Peran Perempuan dalam Sektor Publik di Indonesia

Dewasa ini dinegara kita rakyat selalu berobsesi agar dapat terselenggaranya pemerintahan yang good governance yaitu penyelanggaraan pemerintahan yang effective, efficient, transparan, akuntabel dan bertanggung jawab. Effective artinya penyelenggaraan tepat sasaran sesuai dengan perencanaan strategis yang ditetapkan, effisien arrtinya penyelenggaraan dilakukan secara hemat berdaya guna dan berhasil guna, transparan artinya segala kebijakan yang dilakukan oleh penyelenggara negara itu adalah terbuka semua orang dapat melakukan pengawasan secara langsung sehingga hasil yang dicapai maka semua orang dapat memberikan penilaian kinerjanya, akuntabel artinya penyelenggara pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan yang ditetapkan, serta mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada seluruh warganegara pada setiap ahir tahun penyelenggaraan pemerintahan. Kesadaran menjadi seorang pemimpin bangsa adalah lebih Arif dan Bijaksana apabila serius diutamakan dengan memiliki track record yang baik, dan memiliki modal kepemimpinan yang kuat, berintegritas tinggi, dan berkarakter. Jika perempuan diberikan kesempatan berkarya, akan banyak sektor sumber mata pencaharian yang bakal tercipta.

Perempuan harus dipandang sebagai subyek yang dapat berpikir, merancang kehidupan, dan memproduksi sesuatu. Peran negara hanya sebagai fasilitator, tidak lagi mendominasi sebagai kekuasaan sentral. Dengan demikian, bukanlah selalu perjuangan emansipasi perempuan dihadapan kaum lelaki, melainkan terbagi dalam berbagai perjuangan diantaranya untuk transformasi sistem dan struktur yang tidak adil menuju sistem yang adil bagi perempuan maupun lelaki. Maka strategi perjuangan jangka panjang gerakan perempuan, juga tidak tunggal, tetapi beragam. Dimulai dari upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, sampai pada perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Paling tidak, ada affirmative action, untuk merumuskan adanya strategi pemberdayaan kaum perempuan. Memberikan ruang aktualisasi, agar proses pencapaian tujuan kesetaraan terwujud. Semua elemen terlibat dalam perwujudan itu, baik perempuan itu sendiri, laki-laki, masyarakat awan dan pemerintah. Untuk memberdayakan perempuan supaya menjadi perempuan yang tangguh, dari kecil mereka harus diberi kesempatan yang sama. Tidak ada pembedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Jadi, konstruksi sosial inilah yang harus diubah. Perlu penyadaran akan kesetaraan manusia di masa mendatang. Memberikan penghargaan dan peluang kepada para ibu, dan fasilitasi mereka dalam ruang gerak yang bebas di wilayah publik.

1.      Pendidikan Kritis pada Generasi Perempuan

Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Pendidikan haruslah berbentuk suatu usaha yang mengarah pada cita-cita ideal/positif bagi umat manusia. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, kemiskinan, marginalisasi kaum bawah dan penyelewengan HAM, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Lebih idealnya, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial yang menindas (Pedagogi of the Opresed, New York 1986:67). Ia juga melakukan kritik terhadap kapitalisme dan mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demo-kratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan. Oleh karena itu, pendidikan dalam mainstream ini adalah media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial.

Di dalam kehidupan bermasyarakat yang manifestasinya tampak di dalam tingkah laku yang dipelajari, terdapat unsur penting pada eksistensi, dimulai dari struktur sosial, pengawasan sosial, media sosial, hingga standar sosial. Pada perjalanannya, perempuan juga sebagai salah satu sumber daya manusia diperlukan untuk mengisi sektor tenaga jerja tidak terlepas dari kondisi di atas. Optimalisasi hasil proses dapat dicapai jika ada sinkronisasi dari sumber daya yang ada dengan program proses yang dilaksanakannya. Ilmu pengetahuan spesifik yang di dapat di bangku kuliah pun berdasarkan fakultas yang diminati juga terkadang masih belum cukup mampu untuk membentuk sikap mental dalam kehidupan sehari-hari. Adanya korelasi yang cukup signifikan dalam memberikan “sign of quality” dari output suatu pendidikan sangatlah diperlukan dengan upaya aktivitas perempuan dalam bidang sosialisasi terhadap masyarakat dapat terlaksana. Begitupun juga untuk keperluan adaptasi dengan lingkungan, merupakan syarat bagi kelangsungan hidup bersama.

Diantaranya:

a.       Dengan menciptakan suatu kondisi masyarakat yang sensitif gender. Indikator sensitif gender, bila dalam masyarakat sudah tidak ada pendikotomian peran laki-laki dan perempuan secara biologi. Tetapi lebih pada kesetaraan gender. Sehingga perempuan akan merasa confident untuk bersaing dengan kaum laki-laki diperpolitikan. Apakah secara substansial masih ada yang melanggengkan ataupun memperkuat ketidakadilan gender, setelah itu baru melakukan analisis terhadap berbagai peraturan.

Gender: Istilah gender mengacu pada asumsi atau konstruksi oleh masyarakat atas peran-peran dan tanggung-jawab serta perilaku laki-laki dan perempuan, yang dipelajari dan dapat berubah dari waktu ke waktu serta bervariasi menurut budaya masing-masing masyarakat. Termasuk dalam konsep gender adalah asumsi dan harapan-harapan masyarakat tentang hambatan, kesempatan, kebutuhan, persepsi, dan pandangan yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan.

b.      Dilakukannya pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan gender melalui kebijakan-kebijakan yangmemasukkan pengalaman-pengalaman, permasalahan-permasalahan, dan prioritas laki-laki dan perempuan ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program dalam bidang-bidang politik, ekonomi, dan sosial/ kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk memastikan laki-laki dan perempuan sama-sama menikmati manfaat pembangunan sehingga kesenjangan gender tidak ada lagi.

c.       Pentingnya pendidikan kepemimpinan bagi perempuan. Tanpa memahami pengetahuan kepemimpinan yang efektif, mungkin juga bisa menyelesaikan tugas pekerjaannya, akan tetapi output sampingan (ke-dua) dari hasil kepemimpinan yang efektif dalam bentuk terciptanya otomatis generasi penerus yang professional tidak akan terjadi. Contoh: seorang manajer pun, tanpa mau memahami dan mengetrapkan ilmu kepemimpinan akan bekerja dengan asal jalan saja, dan kurang bisa atau malah tidak bisa memimpin secara efektif, sehingga kurang bisa mencapai sasaran kerja secara optimal. Jadi hal ini juga dibutuhkan bagi kaum perempuan untuk memberdayakan serta meningkatkan potensi kinerjanya. Sebuah pertemuan haruslah menjadi ajang komunikasi yang efektif, yang dapat ditindaklanjuti dalam sebuah aksi nyata. Sebuah aksi nyata yang mengedepankan nilai-nilai profesionalisme dan keberanian untuk menyelesaikan masalah dan tantangan.

Misalkan pemberian pendidikan mengenai perilaku kerja yang mampu mendorong produktifitas adalah perilaku kerja yang suka berkolaborasi, berkomunikasi, bersinergi, berkoordinasi, dan fokus pada prestasi. Berkolaborasi artinya selalu siap bekerja sama dengan siapa pun tanpa memiliki perasaan suka atau tidak suka terhadap pihak-pihak terkait. Berkomunikasi artinya mampu mencair bersama irama kerja sama yang saling memahami dalam satu bahasa persepsi. Bersinergi artinya selalu siap melakukan kegiatan bersama atau kerja gabungan untuk mencapai sasaran dan target. Berkoordinasi artinya selalu menyatukan persepsi terhadap setiap aturan, peraturan, kebijakan, agar setiap tindakan dapat berjalan sempurna dan tidak saling bertentangan atau simpang siur.

d.      Metode praksis. Metode praksis yang dipakai dalam persoalan ini bertitik tolak dari model pendidikan di luar kebanyakan sekolah formal yang kini banyakdisaksikan. Jika pedagogi dikenal sebagai manajemen mendidik anak, metode yang dipakai pendidikan kritis adalah andragogi yang dikenal sebagai mendidik orang dewasa. Perbedaan keduanya sangatlah mencolok. Walaupun pedagogi bukan hanya seni mendidik anak dalam kategori usia, kebanyakan model ini dipakai oleh sistem sekolah biasanya. Pengertiannya adalah menempatkan murid sebagai anak-anak yang dianggap masih kosong dari ilmu pengetahuan. Ibarat botol kosong, ia perlu diisi dan setelah penuh, sang murid telah dianggap lulus/selesai. Konsekuensi metode ini adalah menempatkan peserta didik secara pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek dan guru menjadi subjek. Guru mengurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi murid dievaluasi. Kegiatan belajar ini me-nempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran.Berbalik dari itu, andragogi adalah pendidikan pendekatan orang ”dewasa” yang menempatkan murid sebagi subjek dari sistem pendidikan. Menggambarkan murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan, mampu mengambil manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis permasalahan dan meyimpulkan, serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan. Ibarat fungsi guru adalah sebagai ”fasilitator”, bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid menjadi bersifat multicomunication dan berkembang seterusnya. Itulah yang diharapkan, saat pendidikan kemudian sebagai sarana bagi ajang kreativitas minat dan bakat. Visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi sebuah kebutuhan yang pokok ketika bangsa masih punya satu cita-cita tentang bagimana pentingnya membangun kehidupan masyarakat yang humanis.

2.      Peningkatan Upaya Pemberdayaan Perempuan

Pemberdayaan perempuan adalah usaha pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya lingkungan, ekonomi, politik, sosial dan budaya agar perempuan dapat mengatur diri, meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif untuk memecahkan masalah pembangunan serta membangun dirinya. Pada umumnya ketidaksetaraan gender menyebabkan banyak ketidakadilan terhadap perempuan yang dicirikan oleh masih adanya bentuk diskriminasi, tindak kekerasan, marjinalisasi, sub-ordinasi, bias, dan stereotipe. Sehingga masalah keadilan dan kesetaraan gender sangat terkait dengan upaya-upaya memberdayakan perempuan melalui kemandirian perempuan dan memperkuat kemampuan mereka untuk melakukan negosiasi dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks Indonesia, upaya khusus bagi pemberdayaan perempuan masih perlu dilakukan mengingat secara umum partisipasi perempuan dalam proses pembangunan, baik dari jumlah perempuan yang hadir dalam pertemuan, dalam hal mengakses dan mengontrol sumber daya, dan dalam hal pengambilan keputusan maupun kepemimpinan, masih jauh tertinggal dari rekan laki-lakinya. Oleh karena itu, perlu adanya target-target pencapaian atau indikator tertentu yang menjamin adanya kesempatan yang adil bagi perempuan dalam tiap tahapan pembangunan.

-          Jika persoalan ketidakadilan itu terjadi pada substansi hukum, baik tertulis seperti undang undang atau peraturan yang tertulis, maka strategi yang perlu dilakukan adalah melakukan advokasi untuk mereformasi atau mengubah Undang Undang atau melakukan penafsiran baru terhadap substansi hukum tersebut. Upaya advokasi juga perlu dilakukan pada hokum, namun usaha untuk mengubah struktur ketidakadilan ini memerlukan semua strategi berupa advokasi terhadap berubahnya aturan atau hukum yang menjadi landasan struktur ketidakadilan tersebut, serta juga perlu melakukan sosialisasi untuk membangkitkan kesadaran kritis masyarakat kepada yang diuntungkan dan dirugikan oleh struktur tidak adil tersebut.

-          Jika persolannya pada "kultur" atau adat istiadat di masyarakat atau aparat pabrik, maka strategi yang dilakukan adalah melakukan kampanye dan “pendidikan massa” untuk mengubah persepsi dan idelogi masyarakat atau kalangan buruh dan manajemen di tempat kerja. Untuk menyelenggarakan strategi pendidikan ini, suatu taktik jangka pendek perlu dilakukan, yakni berbagai upaya untuk melakukan kegiatan yang melibatkan perempuan agar mampu mengatasi masalahnya sendiri. Misalnya dalam hal mengatasi masalah marginalisasi perempuan berbagai proyek peningkatan pendapatan kaum perempuan, serta berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan terlibat dalam sektor produktif. Akan halnya yang menyangkut subordinasi perempuan berbagai upaya untuk melakukan pendidikan dan mengaktifkan berbagai organisasi atau kelompok perempuan untuk jangka pendek dapat dilaksanakan.

-          Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan berbagai stereotype terhadap kaum perempuan, suatu aksi jangka pendek juga perlu digalakkan. Kaum perempuan sendiri harus mulai memberikan peran penolakan secara jelas kepada mereka yang melakukan pelecehan agar hal tersebut dihentikan. Membiarkan ataupun menganggap biasa terhadap kekerasan dan pelecehan justru mendorong para pelaku untuk melanggengkannya. Pelaku penyiksaan, pemerkosa dan peleceh seringkali salah paham bahwa ketidakjelasan penolakan tersebut dianggap bahwa mereka menyukainya.

-          Harus ada peningkatan penggunaan media massa secara efektif. Manusia sedang memasuki tahap kehidupan yang lebih tinggi dengan target terciptanya kemanusiaan yang lebih adil dan lebih beradab. Semua ini disebabkan oleh kuatnya arus informasi yang tercipta setiap detik untuk memberikan pengetahuan dan wawasan hidup kepada manusia di mana pun mereka berada. Ditelaah melalui sisi dunia komunikasi, media massa adalah suatu alat komunikasi satu arah yang bersifat seperti peluru mengarah kepada suatu objek atau bisa dikatakan sebagai penerima informasi dan merupakan senjata utama di dunia modern dalam membentuk persepsi publik baik positif atau negatif secara serentak. Media massa memang sulit untuk dikontrol kecuali media massa tersebut benar-benar idealis dan mengutamakan kualitas informasi yang sangat layak untuk disiarkan kepada publik. Pemberitaan media massa akan kinerja pemerintah merupakan wujud sebuah demokrasi akan kebebasan informasi, pemberitaan negatif ataupun positif selama hal itu merupakan suatu realita adalah benar untuk diinformasikan kepada publik. Namun dilain pihak, media massa harus benar-benar menjunjung kualitas berita dan nilai kepentingan publik akan suatu berita sebelum naik ke meja redaksi.Pemerintah juga bisa menjalankan fungsinya sebagai filter media massa tanpa harus menahan suatu penyebaran informasi, hal ini bisa dilakukan melalui press conference apabila pemerintah menganggap informasi yang sampai ke publik tidak benar. Pemerintah pun dituntut harus bisa pro-aktif dalam menanggapi pemberitaan-pemberitaan, kritik ataupun saran yang disampaikan media massa harus dengan cepat dan tegas ditindak-lanjuti bukan dibiarkan hingga dapat menjadi suatu bumerang bagi pemerintah itu sendiri, karena pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan yang mendapat dukungan rakyat. Oleh sebab itu, dewasa ini sudah saatnya media massa maju satu langkah untuk benar-benar menjadi alat pendidik masyarakat melalui siaran informasi. Mengambil contoh, di ruang nyata adalah Asmaa Mahfouz aktifis Gerakan Pemuda 26 April yang sukses menggalang perempuan dan pemuda melalui media massa (jaringan sosial internet) untuk dapat menuntut hak partisipasi publik dalam permasalahan pengundangan konstitusi, pemilihan wakil rakyat, dan pemilihan pemimpin negara. Dapat dipelajari bahwa dalam menuju sebuah perbaikan bersama melalui media massa semua pihak haruslah bersatu-padu membentuk tim yang berisi seluruh kekuatan bangsa dengan warna pikiran yang berbeda untuk tujuan menyelesaikan semua masalah dan persoalan yang ada. Penggunaan keefektifan media massa merupakan kesempatan untuk saling bertukar pikiran, mempelajari informasi yang relevan, serta membuat keputusan yang dapat ditindaklanjuti dalam sebuah aksi nyata. Kekuatan empati, peduli, dan kecerdasan emosi pasti mampu mengatasi semua hal-hal yang tidak mudah. Bila kekuatan bersama semakin stabil dan kuat, masyarakat pun dapat fokus untuk membangun suatu kekuatan bangsa dan negara yang tangguh. Karena dunia saat ini sedang menghadapi ujian besar dalam menghadapi krisis, maka bisa dikatakan krisis bukanlah maut, melainkan krisis hanyalah sebuah situasi yang menuntut kita agar bisa lebih cerdas berpikir, lebih cerdik bertindak, dan lebih bijak dalam memahami makna dari sebuah kehidupan.

Sebagai motivasi dan renungan bersama, banyak perempuan-perempuan yang sukses merubah dunia dengan visi mereka. Mereka dapat menjadi icon public sekaligus legenda dari ribuan perempuan perkasa di dunia.  Berikut ini adalah daftar 10 wanita yang dapat dijadikan inspirasinya:

1. Mother Teresa (1910-1997)
Perempuan yang menghabiskan hidupnya untuk melayani masyarakat miskin ini, menjadi pahlawan dan global icon untuk kepedulian terhadap orang lain. Secara pribadi, perempuan yang meninggal di tahun 1997 ini memberi pelayanan terhadap 1000-an orang yang sakit dan sekarat di daerah Calcutta India. Mother Teresa akhirnya mendapatkan penghargaan Nobel Perdamaian di tahun 1979. Dia telah sukses mengubah dunia dengan kemuliaannya.

2. Indira Gandhi (1917-1962)
Perdana Mentri pertama di India yang sempat berkuasa selama dua priode 1966-1977 dan 1980-1984. Dia di bunuh di tahun 1984 oleh bodyguard sikh. Kebijakan dan Visinya yang terkenal adalah Green Revolution yang berdampak kemajuan di bidang agricultur dan makanan di india. Wanita ini akhirnya menjadi pahlawan di India setelah kematiannya yang mengenaskan itu.

3. Marilyn Monroe (1926-1962)
Lahir dengan nama asli Norma Jean Baker. Hidupnya dalam kemiskinan di masa kecilnya akhirnya melejit to become one of the most iconic filem legends, filem-filemnya selalu sukses dan menjadi banyak inspirasi oleh wanita-wanita di seluruh dunia. Tapi dia lebih terkenal karena fotonya yang selalu good looking dan aura yang di pancarkan full of glamour and sophistcation.

4. RA Kartini (1879-1904)
"Habis Gelap Terbitlah Terang", itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaum perempuan dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamanya. Buku itu menjadi pendorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepang dan Rembang.

5. Margaret Thatcher (1925)
Julukan The Iron Lady alias wanita besi pantas disandangnya, she's leader and revolutionary women from United Kingdom. Margaret Thatcher perdana mentri wanita pertama di Inggris yang berkuasa paling lama, dari tahun 1979-1990. Kebijakan politiknya yang keras di dengar diseluruh dunia. Biarpun dia seorang wanita, tapi banyak lawan politiknya yang takluk dengannya. Presiden Amerika pun pernah diancamnya untuk segera menarik pasukannya dan menghentikan perperangan di Irak. Bahkan beliau berhasil meningkatkan perekonomian di Inggris dan kebijakan ekonominya membuat dunia aman dari kaum kapitalis.

6. Oprah Winfrey (1954)
Wanita berkulit hitam ini menjadi panutan wanita-wanita dunia khususnya yang berkulit hitam. Acara talk shownya The Oprah Winfrey Show banyak memberi inspirasi buat masyarakat di seluruh dunia. Bahkan orang-orang berlomba-lomba untuk datang ke acara ini dan antri untuk menjadi bintang tamunya. Acara talk shownya akhirnya menjadi program TV terpopuler di dunia, Ia juga mendirikan beberapa organisasi kemanusiaan yang berdiri dibawa naungan Oprah Winfrey Foundaion.

7. Madonna (1958)
Madonna is the most successful female musician of all time. Ia telah sukses menjual sekitar 250 juta kopi album rekamannya. Madonna pun akhirnya banyak mempengaruhi dan menginspirasi gaya wanita-wanita di dunia, Ia juga sosok penyanyi yang konsisten dengan musik popnya yang sampai sekarang masi produktif.

8. Lady Diana (1961-1997)
Kecantikan dan kelembutannya banyak dipuja oleh wanita diseluruh duia, istri dari pangeran Charles ini banyak mendapatkan sorotan selama hidpnya. Mulai dari gaya dandannya, kepeduliannya terhadap sesama, keluarganya dan kehidupan pribadinya. Dia akhirnya meninggal karena kecelakaan di tahun 1997. Semua orang pun merasa kehilangan akan sesorang putri yang berpengaruh besar terhadap kemajuan wanita di dunia.

9. Margaret (Meg) Whitman (1959)
Wanita ini menjabat sebagai Chief executive, eBay ini menduduki di posisi 5 word's 100 Most powerful women versi majalah Forbes di tahun 2008 lalu, karena keberhasilannya membangun online yang khusus untuk jual beli produk. Kekayaannya pribadinya yang mencapai $ 1.6 milyar menjadiakan Ia sebagai wanita terkaya di planet ini.

10. Melinda Gates (1967)
Melalui The Bill & Melinda Gates Foundation, istri dari juragan Microsoft Bill Gates ini banyak memberikan pertolongan kepada anak-anak dan masyarakat yang membutuhkan biaya kesehatan dan pendidikan di seluruh dunia. Bahkan biaya yang di salurkannya mencapai $ 28.8 milyar yang keseluruhannya di sumbangkan kepada orang yang kurang mampu.

Kesimpulannya adalah  penting bagi sebuah bangsa berusaha untuk memberikan ruang kepada kaum perempuan agar dapat menyadari, kemudian berorganisasi untuk menumbangkan struktur ketidakadilan yang merugikannya tersebut. Perjuangan strategis untuk mengubah sistem ketidakadilan dalam masyarakat, termasuk diskriminasi dan pandangan negatif terhadap jenis pekerjaan kaum perempuan sendiri serta perlakuan-perlakuan tidak adil (marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan dan beban kerja) terhadap kaum perempuan juga merupakan perjuangan ideologis. Bentuk-bentuk perjuangan tersebut dilakukan dengan melancarkan pendidikan kesadaran kritis untuk menggeser ideologi ketidakadilan yang diyakini masyarakat. Upaya stategis sangatlah perlu dilakukan dengan berbagai langkah pendukung melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan, hukum dan aturan pemerintah maupun tafsiran keagamaan yang dinilai tidak adil terhadap kaum perempuan. Hanya dengan usaha aksi yang sungguh-sungguh, meliputi advokasi, pendidikan kritis masyarakat (popular education), kampanye yang digalakkan oleh kaum perempuan, maka berbagai ketidakadilan dalam masyarakat bisa diakhiri. Namun mengingat ketangguhan dan keunggulan sebuah bangsa hanya akan terwujud bila stabilitas persatuannya terjaga, maka pihak antara laki-laki dan perempuan yang memiliki peran unik masing-masing sehingga tidak bisa dikatakan yang satu mendominasi yang lainnya. Jadi keduanya diharapkan bisa setara dan bekerja sama.

Setiap orang dilahirkan untuk mencapai apa yang diinginkan.
Setiap orang diberi kesempatan oleh kehidupan untuk mencapai semua harapan dan keinginan.
Setiap orang memiliki hak untuk menjadi sukses dan menghasilkan keberhasilan di dalam hidupnya.

Perempuan mengelola sumber daya demi mempertahankan segalanya. Bukan hanya kehidupan diri sendiri, akan tetapi juga keluarganya, masyarakat, dan anak-anak yang dilahirkannya.




Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Pengembangan Peranan Perempuan Indonesia dalam Sektor Publik Bangsa"

Posting Komentar