Rabu, 26 Mei 2010

Aku adalah Cara Berpikirku (3)

(Diary 3)

Semoga ini hanya mimpi




Sungguh, aku tak pernah membayangkan semua akan seperti ini.
Ya Allah….

Mungkin jika aku bisa melanjutkan kuliah di luar kota, dan bisa menurutinya agar tak terlalu jauh jarak terpisah dengannya, aku yakin ini semua tidak akan pernah terjadi!
Tapi apa yang aku bisa?
Seberapa pantas aku mampu meninggalkan orang tua yang kini sering sendiri saja, bahkan jika aku keluar rumah pun, papa tidak bisa tidur karena khawatir memikirkanku jika malam belum juga pulang. Apalagi mengetahui penyakit yang dideritanya.
Kakak yang sudah memiliki kehidupannya sendiri, dan seorang lagi yang jarang pulang karena tuntutan profesi.
Tegakah aku meninggalkan mereka karena alasan seperti ini?
Aku perempuan dan anak terakhir, hanya bisa sadar diri bahwa akulah yang tersisa, akulah yang belum bisa membanggakan orang tua, dan memiliki waktu yang lebih sedikit untuk berkesempatan bersama mereka.

Tapi kenapa?

Saat aku berusaha yang terbaik, menjadikanku pada keadaan yang tak seharusnya.

Aku letih…

Semakin lama..
Seakan tidak percaya pada sikapnya.
Harus dengan apa lagi aku mengungkapkan semuanya?
Bisakah aku dipahami sedikit saja.
Aku tak butuh dikasihani, tapi hanya dihargai.

Seberapa hinanya aku dari orang yang paling hina di dunia ini?

Aku yang sudah berusaha sejauh ini,
Sudah kehabisan cara untuk menahan semua amarah.

Apalagi mengingat,
Aku yang jarang dihubungi karena alasan sibuk dengan kuliah dan tugas, ataupun alasan kehabisan pulsa.
Aku masih bisa memaklumi.
Tapi setelah mengetahui,
Kuliah pun membolos demi perempuan lain yang hanya ingin dilihatnya.
Bahkan itu aku tau dari status facebooknya sendiri.
Ironis



Tidakkah dia berpikir?
Siapa aku baginya?
Pernah sekejap saja merenung bahwa tindakannya menggoreskan tidak hanya luka yang coba ku obati sendiri,
Tetapi juga stempel baru yang tidak mengenakkan.

tak ayal tingkah lakumu, buatku putus asa
kadang akal sehat ini tak cukup membendungnya…..

hanya kepedihan yang slalu datang menertawakanku,
kau belahan jiwa, tega menari indah di atas tangisanku…..




Betapa bodoh...
Disini aku yang seperti ini, tapi dia yang disana tak peduli.
Bahkan mungkin..
Sudah tak ada kesadaran diri lagi.
Entah sengaja ataupun tidak, aku merasakan dia semakin menjadi-jadi.

Tidakkah aku dianggap?
Aku juga perempuan.
Perempuan yang akan menghabiskan kemuda’an dan kecantikannya dalam bakti, cinta dan keikhlasannya kelak dalam Rumah Tangga sampai akhir hayatnya.
Perempuan yang akan melahirkan dan membesarkan anak-anaknya dengan perjuangan baik hingga sosok membnggakan.
Perempuan yang menempuh pengorbanan agar bisa bersama lelaki yang mendatangi mereka dengan kalimat-kalimat penuh bunga.
Tidakkah yang mereka lakukan, seharusnya mereka juga dimuliakan?
Aku mempunyai hak yang sama.
Menginginkan kedamaian, perlindungan, dan kebahagiaan.

Sempat terbesit dalam benakku:
“Ya Allah..Ya Tuhanku..
Aku memang tidak cantik,
Aku memang tidak pintar,
Aku memang bukanlah perempuan yang baik dan sempurna.
Namun begitu, semua yang kau berikan, sungguh aku syukuri…
limpahkanlah rahmat atas segala puji dari hati,
lapangkanlah padaku dadaku ini, tuangkanlah padaku kesabaran,
Tapi jika seandainya kau kelak memberiku ujian diluar batas kemampuanku hingga aku tak sanggup lagi…
Aku mohon…
Wafatkanlah aku dalam keadaan berserah diri…”

Begitu zholimnya aku pada diriku sendiri.
Entah darimana datangnya pemikiran seperti ini.
Cukup tercenung lama aku memikirkan.


♠ ♣ ♥ ♦


Tengah malam menjelang dini hari..
Aku nyaris putus asa..
Ini bukan tentangnya saja.
Tapi tentang kesalahpahaman yang terjadi.
Belum habis benakku memikirkannya, keadaan bertambah rumit dengan temanku yang akhirnya juga menjadi bagian dari ujianku kini.
Permasalahan yang terasa terkait menjadi satu.
Dimana posisiku terhimpit pada tempat yang serba salah.
Antara bingung harus berterus terang, tapi tak ingin mempengaruhi persahabatan, tapi jika aku hanya diam, tetap aku yang paling dinilai salah.

Kenapa sekarang?

Kenapa di saat aku belum sempat bernafas sedikit saja, hanya memberi aku limit dan ruang sejenak untuk sanggup menanggung semuanya, datang lagi hentakan seperti ini?

Ketenanganku belum terbang.

Tuhan…..
Air mataku menderas lagi….

Sesak…
Badanku bergetar hebat,
Kepalaku mendadak pening,
Otakku terus berputar.

Mataku tak sanggup terpejam.
Tapi pikiranku serasa melayang..
Kosong…
Bimbang…
Hampa….
Tak tau apa lagi yang ingin kutuliskan.

Berharap mendapat ilham untuk bisa mendapatkan kepercayaan diri,
percaya pada apa yang ku ucapkan mampu menembus kedalaman akal dan juga hati….

mewakili curahan yang begitu sulit untuk dilukiskan…
begitu tak bisa digambarkan….

Seandainya saja sekarang aku bisa berlari sekuat-kuatnya dengan berteriak sekencang-kencangnya, mungkin semua itu akan ku lakukan.
Tapi kupikir…
Itu sangatlah tidak mungkin.
Takdir tidak memandang siapa saja, tidak memilih tempat ataupun waktu.

Betapa berlikunya jalan menuju keikhlasan…
Betapa berat menjaga suasana hati yang sudah terkondisi agar tidak terkotori…

Aku sungguh tak mengerti.


Aku sebagai teman, yang sudah lama bersamanya, sudah mengenal dan memahami kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Aku menyayanginya.
Sangat menyayanginya. Meski juga mengerti atas apa yang selama ini temanku alami. Tidak keberatan dengan semua sikap baik maupun buruknya.
Aku terima itu semua.
Demi Allah… aku memikirkan permusuhan dengannya saja, sedikit pun tidak ada.
Sama sekali tidak ada!

Aku bertanggung jawab atas pikiranku,
Maka aku harus bertanggung jawab atas semua perbuatanku..

Permasalahannya:
Jika aku tetap melakukan hal yang sama, hanya diam dan menutupi semuanya, maka hasilnya tetap sama. Perubahan tidak akan terjadi sampai aku mengubah penyebabnya.

Yang aku rasakan….

Begitu jahatnya aku yang mempunyai pikiran negatif saat membiarkan temanku bersamanya…
Tapi apa salahkah seorang perempuan mempunyai perasaan gelisah?
Di saat situasi rumit melanda hubungannya.
Di saat pikiran kacau meliputinya.

Tapi seandainya saja aku tak hanya mengambil pandangan saat menjadi saksi atas semua permasalahan dalam hubungan masa lalunya dulu.
Bahkan juga seandainya saja aku tidak terjebak dalam ketidakjelasan permasalahanku.
Mungkin aku tidak akan berpikir menyimpang seperti itu.

Sebenarnya….
Aku tau, dan aku percaya tidak akan ada apa-apa..

Tapi wajar-kah?
Siapa saja jika ada pada posisiku sekarang.
Merasakan apa yang aku rasakan.
Katakan jika aku salah.
Aku sudah menempatkan diri pada tempatnya.
Aku berusaha menutupi perasaanku dan semua yang aku tau.
Tidakkah berhak untuk aku tau, apa sebenarnya yang dia mau?

Seseorang mungkin berbuat salah, tetapi yang tidak dibenarkan adalah mempertahankan sesuatu yang negatif dan mengulanginya hingga menjadi kebiasaan.

Jadi harus bagaimana lagi aku harus berusaha berpikir, bertindak, dan berkata se-bijak mungkin untuk menyampaikan semuanya?


Aku tak pernah berpikir menjaga jarak dengan teman ataupun melupakan teman.
Jika memang aku mempunyai teman yang lain, itu wajar.
Karena kita hidup bermasyarakat dan akupun pasti semakin dewasa juga merasakan sosialisasi yang semakin berkembang.
Diluar kebaikan2 ataupun keburukan2 yang manusiawi, aku bisa mengecap begitu banyak bilangan hari dalam kebahagiaan bersama mereka.
Aku tak pernah berniat untuk menjauh.
Kebaikan seseorang tidak boleh hilang dari ingatan, hanya karena sebuah kekhilafan.

(Seandainya ini dibaca, terutama oleh temanku atau teman-teman yang lain)

Semoga kalian lebih mengerti, kalian memiliki terapi yang luar biasa.
Bisa menjauhkanku dari tekanan hidup sehari-hari serta ikut membawaku pada ketenangan dan kebahagiaan. Percaya hidup kita semakin diwarnai cinta mendalam kepada-Nya. Tak perlu terus memandang masa lalu, jadikan pengalaman sebagai pelajaran memperkuat tali persaudaraan.
Bagaimanapun juga aku tetap sayang kalian ^^
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Aku adalah Cara Berpikirku (3)"

Posting Komentar