Rabu, 21 Mei 2014

Reposisi Peranan Perempuan Menuju Keadilan Sosial dan Demokrasi


“Jika kita mengajarkan sesuatu pada laki-laki, kita hanya mengajarkannya saja.
Akan tetapi jika kita mendidik perempuan, sama halnya seperti mendidik sebuah generasi..”
Berkaca pada Kartini …
Emansipasi lantas bukan hanya ditafsirkan sebagai kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. Banyak yang salah menafsirkan emansipasi ke arah feminis dan radikal.
Sejatinya memang perjuangan menuju kesetaraan gender di Indonesia masih jauh dari kata selesai.
Dari segi politik, saat ini masih saja ada yang menempatkan posisi perempuan hanya sebatas participated mobilized, bukan kesadaran diri sendiri menjadi pelaku atau stake holder. Terkesan perempuan hanya dijadikan sebagai pelengkap. Menuntut keterwakilan perempuan bukan hanya dari kuantitas, tetapi juga seharusnya dilihat dari kualitas dan kapabilitasnya.
Ruang memang sudah ada, akan tetapi budaya patriarki yang masih melekat membuat kesempatan memasuki ruang itu semakin sempit. Mencekoki pemikiran masyarakat bahwa perempuan tempatnya hanya pada ranah domestik saja, sehingga perempuan kurang termotivasi dalam berkembang. Tidak heran prostitusi semakin marak, ketika lahan perempuan untuk berkreasi dibatasi maka ia rela menjual diri.
Sangat miris, saat kita tau anak-anak gadis yang dahulunya duduk di bangku sekolah dasar begitu cerdas dan pintar, namun setelah ia dewasa, hidupnya berakhir di prostitusi dan pernikahan dini.
Di satu sisi adanya ketidak sinkronan UU Perkawinan dan Perlindungan Anak juga menjadi penyebabnya. Pertentangan antara UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, batas umur anak adalah seseorang belum genap 18 tahun.
Maka terjadi ketidak sinkronan antara kedua UU tersebut. UU Perkawinan memperbolehkan anak melakukan perkawinan usia anak, asalkan sudah berumur 16 tahun ke atas.
Padahal pada UU Perlindungan anak, batas usia dibawah 18 tahun masih dianggap sebagai anak dan berhak mendapatkan perlindungan.
Pernikahan memang menjadi hak setiap manusia di dunia ini. Namun jika pernikahan tidak dibekali dengan pendidikan yang cukup dan kedewasaan berpikir yang matang, maka bisa dibayangkan bagaimana sulitnya membina keluarga dan anak-anak lah yang menjadi korbannya.
Jika seorang anak dibawah umur 18 tahun menikah dan memiliki anak pada usia sebelum genap 18 tahun maka bisa dibilang seorang anak yang mempunyai anak. Yang menjadi masalah bahwa UU Perlindungan Anak tidak memandang status pernikahan atau perkawinan seseorang, tidak melihat kematangan psikis, kematangan fisik dan kematangan seksual seseorang. Yang menjadi patokan hanyalah batas usia.
Hal ini juga berdampak pada meningkatnya angka kematian ibu dan korban kekerasan dalam rumah tangga. Di Indonesia, hipertensi merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni  mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas normal, yaitu 140/90 mmHg. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7%. Departemen Kesehatan mengungkap bahwa hipertensi merupakan penyebab kedua kematian ibu melahirkan, setelah pendarahan. Tiga penyebab teratas kematian ibu melahirkan adalah pendarahan (28%), hipertensi (24%) dan infeksi (11%). Hipertensi banyak dialami oleh perempuan hamil dalam usia kurang dari 20 tahun dan di atas 40 tahun. Salah satu contoh data terdapat 117 kasus kehamilan yang tak diinginkan sepanjang tahun 2012 di Kab. 50 Kota.
Hal tersebut semakin menyempitkan ruang gerak perempuan. Menimbulkan kontradiksi dengan minimnya masa produktif perempuan dalam menempuh pendidikan, sehingga berdampak pula pada kurangnya rasionalitas dan rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Perempuan Indonesia butuh motivasi dan dorongan untuk mendapatkan pendidikan perempuan yang layak.
Perempuan memang lah tidak boleh keluar dari kodratnya sebagai perempuan yang melahirkan dan menyusui. Namun laki-laki juga tidak sepatutnya mengurung perempuan dengan menekankan tanggung jawab domestik yang dilimpahkan hanya kepada perempuan saja.
Laki-laki memang tetap menjadi imamnya, dalam Islam khususnya.
Tetapi ketika kita berbicara tentang masalah perempuan, kita juga berbicara tentang nilai-nilai kemanusiaan. Tanggung jawab dalam membesarkan anak, dan mengatur keluarga adalah tanggung jawab bersama. Fokus menjadi ibu rumah tangga pun tidak menjamin perempuan dapat membesarkan anak dengan semestinya. Semua berkaitan dengan kesadaran dalam diri perempuan yang perlu dibangun dan sejauh mana tingkat pendidikan serta rasionalitasnya.
Bisa dibayangkan bagaimana pesatnya perkembangan negara jika peran perempuan juga terus ditingkatkan.
Dan semua juga berkaitan dengan ranah yang diambil, sejauh mana dukungan masyarakat, serta kebijakan pemerintah. Perempuan, adalah tiangnya negara.
Semoga tulisan ini bisa menjadi refleksi kita bersama, dan bisa menjadi stimulus bagi perempuan untuk terus berjuang dan berkarya.



Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Reposisi Peranan Perempuan Menuju Keadilan Sosial dan Demokrasi"

Posting Komentar