Tulisan cerpen fiksi pertama tentang cinta :)
Tepat pukul tujuh
malam, suasana kota pahlawan saat itu bisa dibilang amatlah romantis. Langit
tampak terang menampilkan bintang gemintang yang sedang malu-malu berhamburan.
Hiruk-pikuk perkotaan dan lalu lalang kendaraan pun seperti tidak mengganggu
pasangan-pasangan yang sedang asyik bercengkerama sambil duduk di taman kota. Hari
Sabtu, malam minggu. Waktu dimana kebanyakan
muda-mudi menghabiskan akhir pekan dengan pergi berkencan maupun pergi
berlibur.
Di salah satu rumah yang terletak di
jantung kota, terlihat lampu kamar masih menyala. Seorang perempuan sedang duduk
sendiri di dekat jendela kamarnya. Sesekali ia keluar dari kamar menuju lantai
atas dan mondar-mandir di sebelah balkon dengan menggenggam handphone seperti
sedang cemas menunggu kabar dari seseorang.
Ya.. betapa tidak, Denada yang akan
berulang tahun kurang dari beberapa jam lagi di malam itu, tidak mendapatkan
kabar sama sekali dari Irfan, kekasihnya.
Jarum jam menunjukkan arah ke angka
delapan lewat seperempat. Masih belum ada bbm,
maupun telepon dari Irfan. Kesal menunggu,
akhirnya Denada mencoba untuk menghubungi Irfan terlebih dahulu.
Tut..Tut..
Klik.. “Halo.. Iya sayang?” dari
seberang Irfan mengangkat telponnya dengan santai.
“Kamu kemana aja sih, gaada kabar
seharian. Kamu lupa sekarang satnight?”
“Enggak kok, aku inget. Cuma lagi sibuk
aja.”
“Ngapain aja daritadi?”
“Lagi ngumpul sama temen-temen club
vespa. Aku jemput ya.. Kamu udah siap kan?”
“Aku ga’mungkin lupa sama jadwal kencan
kita.”
“Iya, iya ngerti. Maaf. Wait me honey..”
Dari kejauhan terdengar
suara motor vespa menuju rumah Denada. Denada yang sudah siap di teras rumah
menunggu Irfan menjemput, terlihat sangat menawan. Mengenakan dress bunga dengan luaran parka dan bawahan leging panjang, tak lupa juga memakai wedges cokelat. Cantik, simple
dan stylish.
Tampak Irfan yang sudah
sampai di depan rumah Denada pun terlihat gagah. Mengenakan kaos hitam dan
jaket kulit dengan sepatu model sporty
yang mengkilap. Pasangan yang serasi. Denada
menghampiri irfan, langsung memakai helm yang diberikan Irfan dan segera duduk
di belakangnya. Seperti biasa, tangan Denada berpegangan kuat pada pinggang
kekasihnya itu. Malam hari di tengah keramaian kota Surabaya, udara dingin
semakin merasuk, pasangan muda mudi itu tancap gas menuju arah barat kota.
“Kita mau kemana?”
tanya Denada yang bingung karena mengamati rute perjalanan mereka tidak seperti
biasanya. Irfan hanya diam dan tersenyum.
“Mau ke suatu tempat terindah di dunia..
dimana hanya ada aku dan kamu yang bisa menyaksikannya..” jawabnya.
Denada yang mendengar
kalimat itu sontak diam dan tunduk, memikirkan kejutan apa yang akan diberikan
kekasihnya. Ia membayangkan candle light
dinner, mawar putih, atau bahkan pikiran menghabiskan malam ulang tahunnya
dengan camping di pinggir pantai.
Tapi, pikirannya beralih lagi. Denada tidak sekalipun diberitahu untuk
mempersiapkan apapun jika memang mereka hendak camping atau pergi jauh. Ia semakin bingung akan dibawa kemana oleh
Irfan. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam tepat.
Motor vespa warna biru
laut memasuki parkiran di dekat penerbangan lokal Bandara Juanda. Mimik muka Denada
masih terlihat bingung. Irfan memarkirkan motor kesayangannya, digenggamnya
tangan Denada menuju tempat check-in.
Beruntung karena mereka adalah penumpang terakhir yang belum check-in, jadi tidak perlu antri. Setelah
selesai dengan pelaporan administrasi, Irfan dan Denada langsung pergi ke gate yang tertera pada boarding pass mereka. Pukul 21.20 Penerbangan
Rute Surabaya-Banyuwangi
***
Pesawat yang ditumpangi
Irfan dan Denada akhirnya mendarat dengan apik di landasan Bandara
Blimbingsari, Kota Banyuwangi. The
Sunrise of Java.
Irfan menggandeng tangan Denada menuju
pintu kedatangan penumpang. Disana sudah banyak penjemput yang menanti
pertemuan dengan orang-orang terkasih maupun tamu spesial yang belum pernah
dijumpai. Begitu pula dengan beberapa orang yang tak asing lagi dimata Denada. Tony,
kakak kandungnya berdiri berdampingan dengan perempuan separuh baya yang
mengenakan jaket tebal bewarna kuning. Perempuan itu memanggil namanya dan
melambaikan tangan.
“Sari!”
teriak Denada seraya melepaskan genggaman tangan Irfan, berlari memeluk sahabat
karibnya. Sudah lama mereka tidak bertemu sejak Sari pindah ke Sydney lima tahun silam, saat memilih
tinggal bersama sang nenek dan melanjutkan kuliah disana.
Rasa jenuh dan lelah
yang dirasakan sepanjang perjalanan seketika lenyap tergantikan dengan
kebahagiaan saat tiba dan disambut oleh keluarga dan sahabat.
Orang tua Denada sedang pergi bertugas
ke luar negeri, jadi Tony lah yang bertugas menjaga adik semata wayangnya.
Tentu saja hal ini sudah direncanakan jauh-jauh hari oleh Irfan. Meminta restu
orang tua Denada, menghubungi Sari untuk membantu mempersiapkan kebutuhan
Denada dan kejutan ulang tahunnya, bahkan Tony juga ikut membantu menjadi penasehat
sekaligus seksi dokumentasi.
Pukul 23.05. Perjalanan dimulai pada
detik itu. Empat orang dijemput mobil jasa tour
and travel meninggalkan bandara, bersiap meraih asa dan cinta menuju
destinasi terbaik dalam menciptakan sebuah kenangan yang tak akan bisa
terlupakan.
***
“Kita mau kemana sih?
Kenapa ada tas carier segala? Siapa yang
mau ke gunung?”
tanya Denada penasaran.
Tidak ada yang menjawab. Tony hanya tersenyum
jahil melihat raut wajah imut adiknya yang menyiratkan kebingungan. Terang
saja, Denada memang tidak pernah sekalipun naik gunung. Jangankan naik gunung,
mendaki gumuk pun tak mau. Pernah dulu saat kakaknya masih aktif di salah satu
UKM Pecinta Alam dan mengadakan diklat
awal di gumuk, Denada diajak ke puncak gumuk. Tapi karena ia tergelincir saat
perjalanan menuju puncak dan terjatuh di depan teman-teman Tony, Denada tak
pernah mau lagi jika diajak mendaki.
***
Mobil tour and travel memasuki kawasan wisata
ijen. Irfan memimpin rombongan empat orang untuk check in hotel. Sari langsung membawa Denada ke kamar untuk
membantu berganti pakaian yang sudah disiapkannya. Semua sudah siap, namun
bukan baju pesta yang dikenakan keempat pemuda itu, tetapi perlengkapan wajib
mendaki seperti jaket tebal, topi, masker, sarung tangan, sepatu gunung dan
perlengkapan lain.
Denada yang menyadari ketiga orang terdekatnya
tidak menanggapi pertanyaan-pertanyaannya, dengan terpaksa ia menurut saja dan
terdiam jengkel. Selain itu, belum ada seorang pun yang mengucapkan selamat maupun
memberikan hadiah di hari ulang tahunnya. Padahal waktu sudah melewati angka
00.00 dini hari.
Mereka berangkat dari
hotel menuju pos pintu masuk paltuding dan dilanjutkan dengan soft trekking.
Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer.
Udara dingin menusuk tulang. Sepanjang
perjalanan tercium samar-samar aroma belerang. Semakin mendaki ke atas, aroma
itu semakin pekat. Tak jarang membuat mata menjadi pedih.
Layaknya pendaki
sejati, Tony mengambil alih memimpin tim. Menuntun arah jalan dan beberapa kali
mengingatkan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh tiga orang
pasukannya.
“Ingat, hati-hati dalam mendaki, jalanan
licin karena banyak butiran pasir. Kita akan mendaki pada kejauhan jarak 2
kilometer dengan kemiringan sudut 25-30 derajat seperti ini sampai di pos
bunder, setelah itu jalannya lebih mudah dan mendatar. Hanya sekitar 1
kilometer.”
“Apaaa? Hanyaaa? Hanyaaa? Itu sih
lumayan buat kaki jadi kaku. Badan juga makin beku.”
Protes Denada yang berada di belakang
Tony. Ia masih terlihat kesal, dan lebih memilih bergandengan tangan dengan
Sari meski beberapa kali Irfan berusaha meraih tangannya.
Sepanjang perjalanan Sari menghibur
sahabat karibnya itu. Bercerita tentang banyak hal lucu yang dialami di Sydney selama ini. Sisi humorisnya
memang sangat berguna. Selain bisa mencairkan suasana, jarak 2 kilometer yang
ditempuh menjadi tidak terasa.
Namun di tengah-tengah
perjalanan, obrolan Sari terhenti. Begitu juga dengan langkahnya. Wajahnya
pucat pasi, muncul keringat di dahinya. Ia memegang perut karena menahan sakit
yang begitu dahsyat. Baru ingat bahwa hari itu merupakan hari pertama
menstruasi sehingga ia merasakan perihnya dismenhoria.
Sontak semua menjadi cemas, minor accident terjadi sebelum sampai di
pos bunder.
Akhirnya Tony pun langsung mengambil
tindakan menggendong Sari ke belakang punggungnya.
“Kita lanjutkan
perjalanan, sedikit lagi sudah sampai di pos bunder. Kita rehat disana. Ada air
panas yang setidaknya bisa kita gunakan untuk mengompres perut Sari nanti.
Fan, kamu gandeng Denada, kita percepat
langkah kita” perintah Tony.
Pendaki yang sudah
terbiasa mendaki biasanya bisa sampai di pos bunder dalam kurun waktu dua jam,
tetapi karena keadaan darurat seperti ini apalagi hanyalah Tony lah yang
terbiasa berjalan di medan yang curam, jadi sesampainya di pos bunder setelah
menghabiskan waktu sekitar tiga jam. Sari yang sudah diobati dengan asam efenamat dan perutnya pun sudah
dikompres air hangat, keadaannya mulai membaik. Ia sudah mampu berjalan seperti
biasa, namun kali ini dengan dituntun Tony sampai ke puncak. Satu kilometer
lagi sampai di puncak kawah ijen. Menyusuri kegelapan pada dini hari.
Semakin dekat dengan puncak, semakin terlihat juga cahaya lampu
senter para wisatawan dan backpacker
lain yang saling bertabrakan. Tak jarang pula berpapasan dengan para penambang
belerang di dekat pos bunder.
“Masih kuat mbak, mas?
Sabar, tinggal sedikit lagi” kata seorang bapak-bapak yang sedang memikul
bongkahan belerang sebesar kaki gajah itu.
Tidak ada raut wajah
lelah yang ditunjukkan Bapak si penambang belerang. Keramah tamahan dan
senyumnya menyemangati empat pemuda untuk bangkit dari peristirahatan.
Ketika yang lain mulai melanjutkan
perjalanan, Irfan kembali menemui bapak penambang belerang. “Bapak, boleh saya
minta tolong?”
***
Langkah kaki semakin
berat. Denada terhenti, terdiam, ia tak berkedip ketika samar-samar memandang
keajaiban Tuhan yang ada di depan mata telanjang. Betapa takjubnya ia.
“Kita sudah sampai.. in here, Blue Fire.. The World Destination!!!”
teriak Tony melepaskan kegembiraannya.
Segera Irfan meraih tangan Denada. Kali
ini Denada tak mampu menolaknya lagi. Tangan kekasihnya itu menggenggam erat
tangannya, kemudian mengecup pipi kirinya.
“Selamat Ulang Tahun, sayang...”
Kalimat yang sederhana, namun cukup
membuat Denada tak kuasa menahan air mata. Terharu nan bahagia. Fenomena yang
sangat indah. Tepat di danau dengan kawah yang membentang luas dan terbesar di
dunia. Kado paling menakjubkan yang pernah diberikan oleh Irfan.
“Kau tau, mengapa aku
mengajakmu ke tempat ini? Lihatlah nyala-nyala cahaya api biru itu. Blue Fire, menginterprestasikan betapa
bersyukurnya aku telah memilikimu.
Betapa rumitnya perasaanku seperti
sulur-sulur blue fire yang menyerupai
urat nadi itu kian menyadarkanku, betapa panas dan merasa hidupnya aku setiap
berada di dekatmu.
Blue
Fire
tidak bisa membakar kayu, namun bisa melelehkan besi. Sama sepertiku, yang tak
bisa menahan ego setiap kali tanpa sadar terkadang aku tlah membuatmu jengkel.
Tapi rasa memiliki ini ibarat
katalisator yang tiada henti-hentinya mengingatkan aku akan besarnya kasih dan
sayang yang tercurah. Itulah Blue Fire
untukmu, Denada...”
Denada tak bisa
berkata-kata. Hatinya sudah meleleh dengan semua kejutan manis yang ditunjukkan
Irfan. Hilang sudah rasa kesal, sakit, dan lelah, semua menguap begitu saja. Seolah
terbayarkan dengan tenggelamnya ia dalam nuansa magis tersebut.
Waktu berganti menjadi
pagi dini hari, blue fire mulai menghilang. Sinar mentari terpancar dari balik
tebing hingga memunculkan pemandangan kawah ijen menjadi sangat jelas. Cahaya
memantul tepat menerangi kawah, dihiasi kabut belerang yang tersisa, membuat
siapa saja yang melihatnya terpesona. Air kawah berkilauan, bak semburan
berlian bewarna hijau tosca. Mereka menjadi saksi atas momen-momen perubahan
alam yang eksotis nan luar biasa.
Pertunjukan pemandangan
indah belum selesai. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak sisi selatan
kawah, memandangi gradasi warna hitam tanah, putihnya kapur, dan semburat warna
segar kuning belerang yang berpadu satu sama lain. Hingga sampailah mereka di
dekat pohon-pohon kering yang mati. Pohon-pohon itu mati karena serangan asap
belerang akibat letusan terakhir pada tahun 1993. Namun anehnya batang pohon
tetap kokoh berdiri, dan memberikan kesan humanis bagi siapa saja yang
melihatnya.
Di salah satu pohon, sesuatu tergantung.
Sebuah kotak kaca dengan pita merah yang melilitnya.Denada yang tersadar akan
hal itu, langsung meraih kotak tersebut. Tony memberikan isyarat agar Denada
segera membukanya.
“Itu hadiah buat kamu...” ujarnya.
Denada membuka kotak
kaca itu pelan-pelan. Terdapat sebuah cicin emas dengan hiasan permata di
atasnya, dan terdapat pula sebuah bongkahan belerang berbentuk hati.
Irfan berlutut dan menggenggam tangan
Denada lagi.
“Dear... ada dua hadiah yang aku berikan untukmu. Sebuah cincin yang
mengartikan sebuah ikatan yang lebih serius, dan bongkahan belerang berbentuk
hati yang mewakili perasaanku. Dua tahun, waktu yang cukup bagiku untuk lebih
mengenalmu. Waktu yang sudah kita lalui bersama untuk semakin dekat dan mengerti
satu sama lain, waktu dimana kita saling mendengarkan keluh kesah, memecahkan
setiap masalah demi masalah, mengukir momen indah berdua. Yang aku tau, aku
sangat bersyukur, Tuhan telah memberikan kesempatan dan mempertemukan kita. Mungkin,
aku bukan seorang laki-laki yang sempurna. Aku hanya berusaha menjadi seseorang
terbaik yang aku bisa. Seseorang yang bisa bermakna bagimu, dan melengkapi
hidupmu..”
Kata-kata Irfan membuat
Denada tak bisa membendung air matanya lagi. Kali ini, air mata bahagia itu benar-benar
terjatuh semakin deras. Degup jantungnya berdetak hebat.
“Hari ini, aku
memberanikan diri untuk mempertanyakan keyakinanmu padaku. Apakah kau mau menerimaku
untuk selamanya menjadi pendamping hidupmu, membangun masa depan indah berdua?
Jika ya, kau bisa langsung memakai cicin itu di jari manis tangan kananmu . Tetapi
jika tidak, kau bisa membuang bongkahan belerang berbentuk hati itu di depanku.
Lemparkan ke dalam kawah panas, agar terekam dalam memoriku tentang pupusnya
harapan untuk bisa bersamamu.”
Denada terdiam. Lama ia
termenung memikirkannya. Suasana pagi hari itu pun semakin tegang.
“Aku.. nggak bisa...”
jawabnya, dengan suara sedikit lirih.
Semua sontak kaget dan
tercengang mendengar pernyataan Denada. Sari pun seakan tak percaya. “Sahabatku,
Denada.. apakah kamu yakin?” tanya Sari untuk memastikannya.
“Maksudku, aku nggak
bisa memakainya. Tegakah kamu, melihat kedua tanganku penuh dengan hadiah dan
aku tidak bisa memasang cincin indah ini sendirian.” ucap Denada dengan
tersenyum manja kepada Irfan.
Mendengar kelanjutan
pernyataan itu, Irfan beranjak berdiri dan memeluk Denada erat-erat. Sampai-sampai
Denada susah bernapas. Irfan bahkan mencium kening kekasihnya beberapa menit. Tak
peduli ada dua pasang mata yang lain disana dari awal sudah ikut terlarut dalam
fantasi romansa yang diciptakan.
Akhirnya Tony tak mau kalah.
Ia tidak mau melewatkan momen manis itu. Sari yang sedari tadi hanya menjadi
penonton setia, tiba-tiba terenyuh ketika Tony berani memandangnya begitu lama.
Tatapan yang penuh arti. Dan tanpa kata-kata pun, Sari bisa menerjemahkannya.
Kontak mata memberikan suatu pertanda. Bahwa ada ketertarikan diantara dua anak
manusia.