Bagi masyarakat Indonesia merupakan berita yang membahagiakan saat diumumkannya dan diketahuinya akan diadakan penerimaan CPNS/CPNSD melalui media cetak maupun elektronik. Dan sebagian besar masyarakat juga telah mengetahui bahwa untuk menjadi PNS tidak diutamakan kompetensi atau kemampuan disiplin ilmu, melainkan yang diutamakan adalah kemampuan finansial dan relasi yang kuat.
Jutaan orang angkatan kerja Indonesia bermimpi untuk menjadi PNS. Mengapa? Pertama, sampai saat ini dalam paradigma masyarakat Indonesia bahwa menjadi PNS merupakan pekerjaan yang memberikan jaminan hidup sampai hari tua bahkan sampai pada kematian PNS masih mampu untuk membantu pembiayaan kehidupan keluarganya; Kedua, PNS menduduki tingkatan sosial yang lebih tinggi daripada pekerjaan-pekerjaan di bidang non pemerintahan; Ketiga, lebih ekstrim lagi bahwa pekerjaan PNS tidak memerlukan prestasi kerja yang kongkret untuk kenaikan pangkat dan jabatan.
Cita-cita menjadi PNS telah tertanam dalam pikiran generasi muda dimulai dari pengaruh keluarga, lingkungan, serta sampai pada sistem pendidikan formal. Menurut Romo Mangun, yang menulis tentang sistem kependidikan Indonesia dan mengapa orang begitu berminat menjadi PNS, “orang begitu berminat menjadi PNS (birokrat) karena kita masih mewarisi mental inlander dari zaman kolonial dulu, dimana orang dididik untuk menjadi patuh dan taat pada pemerintah, sehingga mereka nantinya bisa menjadi ambtenaar (PNS di zaman kolonial) juga. Menjadi ambtenaar itu merupakan pekerjaan terhormat pada waktu itu, dan rupanya masih terbawa hingga sekarang. Yang juga masih terbawa adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari kekuasaan bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak.”
Suatu kenyataan lagi bahwa masyarakat Indonesia telah mematahkan mitos “PNS di Indonesia itu gajinya kecil.” Hal ini diperkuat oleh Studi Bank Dunia, Deon Filmer (Bank Dunia) dan David L. Lindauer (Wellesley College) dalam kertas kerjanya berjudul ‘Does Indonesia Have a Low Pay Civil Service’, menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan PNS 42% lebih tinggi dibanding pekerja swasta meski saat itu tingkat produktifitasnya kalah ketimbang kaum buruh. Hingga pada tingkat SMA, pendapatan pegawai negeri masih lebih baik dibandingkan dengan pegawai swasta.
Birokrasi Memberikan Pengaruh Negatif Terhadap Paradigma Masyarakat
Disisi ironi, yaitu dari sisi birokrasi, fakta yang ada sebagai faktor internal yang menjadi sorotan negatif aparatur telah melekat menjadi stigma. Sebagai misal, kebiasaan hanya akan bekerja dengan baik jika diberikan sejumlah materi, loyalitas kepada pimpinan yang sering keluar dari Tupoksi-nya, serta lebih berorientasi pencapaian jabatan ketimbang prestasi. Hal ini memang berbentuk negatif tetapi berada pada tingkat toleransi yang tinggi karena masyarakat telah berada pada titik apatis.
Pemerintahan Wirausaha
Berdasarkan kenyataan jelek tersebut, maka diperlukan suatu upaya perubahan terhadap paradigma masyarakat yaitu melalui pendekatan sosial-budaya, serta upaya pembersihan citra negatif birokrasi dan aparaturnya (PNS) agar terbentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan komprehensif.
Pada kesempatan ini penulis tidak membahas bagaimana melakukan perubahan paradigma masyarakat terhadap birokrasi, tetapi penulis mencoba menawarkan upaya perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi’. Tulisan yang dipengaruhi oleh pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya berjudul ‘Reinventing Government’ ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan birokrasi melalui penerapan konsep kewirausahaan, baik terhadap sistem birokrasi itu sendiri maupun terhadap aparaturnya. Gagasan ini mencoba memulai dari hal yang sangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.
Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat inovatif, produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.
Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.
Kondisi seperti ini bersama-sama menciptakan pola pikir dimana PNS memandang resiko dan gaji secara amat berbeda dengan pegawai swasta. Resiko pemecatan PNS sangatlah kecil karena melewati prosedur yang rumit dan mempunyai ruang yang bisa ‘dikondisikan’, serta untuk mendapatkan gaji PNS tidak terbebani oleh kinerja yang baik. Sedangakan pekerja swasta sangat rentan terhadap pemecatan karena mereka harus selalu memberikan kinerja yang baik terhadap perusahaan. Pemerintah cendrung memperlakukan pegawainya dengan ‘adil’ tanpa memandang kemampuan mereka atau tuntutan mereka terhadap pelayanan publik. Hal ini hanya menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai yang mencapai nilai ratusan triliyun rupiah. Oleh karena itu pemerintahan sebenarnya tidak bisa meraih efisiensi seperti dalam bisnis.
Transformasi kewirausahaan kedalam birokrasi dapat dilakukan dengan landasan makro dan mikro, dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama serta berkesinambungan.
Adapun landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan masyarakat yang produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara terus-menerus. Dalam tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik seperti model contracting out dan franchising. Adapun dalam model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai pengatur, sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang. Untuk model franchising, pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
Berdasarkan landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan dirinci lebih lanjut dalam bentuk konkrit program (landasan mikro). Landasan mikro dimaksud adalah:
1. Penetapan standar pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard Operating Procedures (SOP), pelanjutan (penyempurnaan) Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.
2. Pelaksanaan survei pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat dilakukan oleh Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
3. Pembuatan indeks pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari penerapan SPM di bidang lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan pemerintahan (kabupaten/kota), penyusunan anggaran Pemda, dan bidang pendidikan.
4. Pengembangan sistem manajemen pengaduan. Dari sisi mikro, pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara cepat, efektif dan efisien dalam mengolah berbagai pengaduan masyarakat, sehingga pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik ke depan.
5. Dengan menggunakan model contracting out dan franchising perusahaan yang memegang pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang baik karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain apabila mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.
Apabila konsep birokrasi wirausaha ini diterapkan secara konsisten dan berkesinambungan, maka:
1. pemerintah dapat menekan anggaran belanja pegawai yang selama ini terbuang sia-sia, misalnya disebabkan karena kebutuhan akan tenaga PNS menjadi lebih sedikit;
2. akan terjadi persaingan antar pelayan publik untuk memberikan pelayanan yang baik kepada publik;
3. rekruitmen PNS dilaksanakan berbasis kompetensi, efektif, dan efisien;
4. korupsi, kolusi, dan nepotisme secara birokratis akan berkurang, baik itu dimulai pada saat rekruitmen PNS maupun sampai pada tingkat pelaksanaan kepemerintahan.
0 komentar: on "Solusi Mewirausahakan Biokrasi"
Posting Komentar