Kamis, 09 Februari 2012

GENDER

A. Latar belakang
Saat ini gender masih menjadi isu sentral yang kerap dibicarakan. Kekeliruan dalam memahami dan mengartikan istilah gender masih sering terjadi. Dalam bahasa Inggris, kata gender diartikan sebagai "jenis kelamin", atau sinonim dengan kata sex. Untuk konsep yang lebih luas, gender diartikan sebagai "gender is a basis for beginning the different contributions that man and woman make to culture and collective life by distinction which they are as man and woman." Sebagaimana isu-isu lainnya seperti Demokrasi, HAM, Civil Society, Gender termasuk isu baru dan diperkirakan menjadi discourse di Indonesia barulah pada pertengahan tahun 1990-an.
Sedangkan kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia. Kesetaraan gender meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses dan kesempatan berpartisispasi.
Kaum perempuan seringkali kurang mendapatkan kesempatan yang cukup untuk berkiprah dalam kehidupan sosial bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terjadi karena masih lekatnya ketidakadilan gender dalam masyarakat yang terjelmakan dalam marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang bersifat menyepelekan (tidak penting) kepada kaum perempuan, bahkan kekerasan (violence) termasuk dalam hal bekerja atau justru beban kerja yang lebih panjang atau lebih banyak (double burden). Bentuk ketidakadilan gender ini tidak dapat dipisah-pisahkan karena saling terkait dan berhubungan, serta saling mempengaruhi secara dialektis. Tidak ada satu pun bentuk ketidakadilan gender yang lebih penting dan lebih esensial dari ketidakadilan yang lain.

B. Pengertian Gender
Gender secara keliru sering diartikan sebagai jenis kelamin, sehingga kedua kata ini perlu dipahami pengertiannya secara benar. Jenis kelamin atau seks adalah penan-daan individu manusia ke dalam kategori laki-laki dan perempuan berdasar karakteristik biologis (genital eksternal dan organ-organ seks internal), genetik (kromosom) dan hormon.

Gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan sifat, peranan, fungsi, dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan pada perbedaan biologis, tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh struktur masyarakatnya yang lebih luas. Gender merupakan hasil konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.

Peran gender bersifat dinamis, dipenga-ruhi oleh umur (generasi tua dan muda, dewasa dan anak-anak), ras, etnik, agama, lingkungan geografi, pendidikan, sosial ekonomi dan politik. Oleh itu, karenanya perubahan peran gender sering terjadi sebagai respon terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi, budaya, sumberdaya alam dan politik termasuk perubahan yang diakibatkan oleh upaya-upaya pembangunan atau penyesuaian program struktural(structural adjustment program) maupun pengaruh dari kekuatan-kekuatan di tingkat nasional dan global.

Mengapa Gender Dipermasalahkan ?

? Permasalahannya terletak pada persepsi dimana perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan dipandang menjadi nilai-nilai dan norma tentang kepantasan peran, tanggung-jawab serta status laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pembangunan.

? Pandangan atau persepsi dimana perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai suatu pembenaran terhadap pembedaan hak-hak dan kesempatan bagi keduanya.

? Kapasitas biologis perempuan (bersifat kodrati) dalam melahirkan anak dijadikan rasional terhadap penentuan peranan bahwa perempuan hanya pantas berperan dalam kegiatan domestik dan dianggap tidak pantas berperan dalam sektor publik (masyarakat dan negara). Persepsi ini merupakan bias gender yang mengurangi kesempatan dan kontribusi perempuan dalam pembangunan yang dianggap berada di sektor publik.

? Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan, keduanya bisa menjalankan peran baik di sektor domestik maupun publik. Namun, adanya bias gender menjadikan perempuan belum memperoleh manfaat pembangunan yang sama seperti halnya laki-laki. Oleh karenanya, pembangunan harus memberi hak-hak dan kesempatan yang sama bagi keduanya, sesuai dengan peranan dan statusnya dalam keluarga, masyarakat, dan negara.


C. Kesetaraan Gender
Wacana dan isu “kesetaraan gender” (KG) kini menggema luar biasa di Indonesia. Berbagai program digelar untuk mensosialisasikan program ini. Bahkan, seolah-olah, paham ini sudah dianggap sebagai satu kebenaran, yang tidak boleh dipersoalkan. Seperti halnya beberapa paham lain yang datang dari peradaban Barat, banyak orang yang kemudian mencari pembenarannya dalam ayat-ayat al-Quran dan hadits. Sekarang, ada istilah ”pembangunan berwawasan gender”, “politik berwawasan gender”, “pendidikan berwawasan gender”, “fiqih berwawasan gender”, “tafsir berperspektif gender,” dan sebagainya.
Sebagian aktivis gender kemudian mengangkat isu penjajahan dan penindasan perempuan oleh laki-laki pun diangkat. Seolah-olah, selama ini kaum wanita mundur karena ditindas oleh laki-laki. Lalu, kaum wanita disuruh bergerak untuk melawan apa yang mereka katakan sebagai ”hegemoni” laki-laki. Entah mengapa, negara-negara Barat dan juga LSM-LSM mereka, kini sangat aktif mendanai berbagai proyek penelitian dan gerakan KG. Bahkan, sasaran paham ini sudah semakin spesifik. Ada yang khusus menggarap pesantren, ada ormas Islam, ada partai, perguruan Tinggi, dan sekolah-sekolah.
Tentu tidak ada salahnya umat Islam bertanya: apa dan untuk siapa sebenarnya program ini? Timbul tanda tanya besar mengapa pihak Barat begitu bersemangat mengkampanyekan kesetaran gender di dunia Islam, ketika pada saat yang sama, isu tersebut mengalami stagnasi dan mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat Barat sendiri? Banyak problem rakyat Indonesia lain – seperti kemiskinan dan kesehatan – yang masih memerlukan bantuan. Mengapa justru proyek-proyek KG yang mudah mendapatkan pendanaan?
Jadi, KG tidak lepas dari isu pemberdayaan perempuan dan gerakan feminisme. Dan ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah kelam masyarakat Barat pada abad pertengahan. Menurut McKay dalam bukunya a History of Western Society (1983), terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai makhluk inferior, bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. (Maududi, Hijab, 1995). Kehidupan keras dialami oleh perempuan-perempuan di Eropa abad Pertengahan (The Middle Ages). Dalam esai Francis Bacon tahun 1612 yang berjudul Marriage and single Life (Kehidupan Perkawinan dan Kehidupan Sendiri), disebutkan banyak laki-laki memilih untuk hidup lajang, jauh dari pengaruh buruk perempuan dan beban anak-anak sehingga dapat berkonsentrasi pada kehidupan publiknya. (Arivia, 2002).
Karena diperlakukan sebagai makhluk tertindas, maka muncullah kemudian berbagai gerakan pembebasan perempuan. Termasuk membebaskan diri dari kungkungan agama. Dalam bukunya, yang berjudul Membiarkan Berbeda?, (1999), pakar Ilmu Gizi IPB, Dr. Ratna Megawangi, menyebutkan, ide KG bersumber pada paham Marxis, yang menempatkan perempuan sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Institusi keluarga yang mendiskriminasi perempuan harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Agenda feminis mainstream, semenjak awal abad ke-20, adalah bagaimana mewujudkan KG secara kuantitatif, yaitu laki-laki dan perempuan sama-sama berperan, baik di luar maupun di dalam rumah. Tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan. Urusan rumah tangga dan anak adalah urusan sama-sama. Mereka percaya, bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena perbedaan biologis atau hal yang nature (fitri).
Tahun 1970-an, para feminis mulai mengusung konsep gender equality atau kesetaraan gender (KG) sebagai mainstream gerakan mereka. Gender, menurut Unger, adalah, "a term used to encompass the social expectations associated with feminity and masculinity". Para feminis berpendapat gender merupakan konstruk sosial, dan berbeda dengan “sex“ yang merujuk pada anatomi biologis. Gender dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya, agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya. Lips dalam A New Psychology of Women berpendapat, gender tidak hanya terdiri dari dua jenis, yaitu feminin dan maskulin. Tetapi, menurutnya, ada gender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan telah dikenal pada berbagai macam budaya yang berbeda. Gender ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite (seseorang yang senang berpakaian gender lainnya). (Lihat, Hilary M Lips, A New Psychology of Women;Gender, Culture, and Ethnicity, 2003).

- Kesetaraan dan lesbian

Karena itu, tidak mengherankan, jika demi perjuangan kebebasan perempuan dan “kesetaraan”, maka mereka juga aktif memperjuangkan hak-hak kaum lesbian. Sebuah jurnal di Indonesia yang aktif menyuarakan paham KG, edisi Maret 2008, secara terbuka memperjuangkan legalisasi perkawinan homo dan lesbi. Bahkan, gerakan ini juga didukung oleh seorang Profesor bidang keislaman di Jakarta. Ia berpendapat, perkawinan sah dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki, atau antara perempuan dengan perempuan.
”Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam,” ujar guru besar tersebut, mengutip ayat-ayat al-Quran. Tentu saja, penafsiran profesor ini sangat keliru.
Pengakuan terhadap adanya gender ke tiga membuat kaum feminis terus memperjuangkan hak kaum lesbi/homoseksual di seluruh dunia dan menuntut negara mengesahkan pernikahan mereka secara hukum. Bahkan dalam perspektif feminis radikal, pasangan lesbi memiliki tempat yang “terhormat“ karena dalam hubungan heteroseksual perempuan cenderung menjadi pihak yang tersubordinasi. Ini berbeda dengan pasangan lesbi, dimana perempuan justru memiliki kontrol setara sehingga tidak terjadi dominisasi satu dengan lainnya.
Inilah konsep ”kesetaraan” yang mereka inginkan. Puncak ”kesetaraan” itu, menurut kelompok ini, dicapai oleh pasangan lesbian. Hal itu tertuang dalam pernyataaan Charlotte Bunch (1978): “The Lesbian is most clearly the antithesis of patriarchy-an offense to its basic tenets. It is woman-hating; we are woman-loving. It demands female obedience and docility; we seek strength, assertiveness, and dignity for women.” (Lesbian adalah antitesis paling jelas dari patriarki yang menyerang doktrin dasarnya. Patriarki adalah pembenci perempuan, sedangkan kami pencinta perempuan. Patriarki menuntut kepatuhan dan kepasifan perempuan, kami mencari kekuatan, penegasan dan harga diri bagi wanita.” (Joan C Chrisler,, et all, (ed), Lectures on the Psychology of Women, (2000).

Konsep Islam

Umat Islam, khususnya kaum Muslimah, seyogyanya cerdas dan kritis dalam menyikapi masuknya agenda dan konsep-konsep asing dalam tubuh masyarakat muslim. Islam memiliki konsep sendiri dalam soal relasi laki-laki dan perempuan. Konsep-konsep yang datang dari tradisi budaya lain, tidak sepatutnya ditelan mentah-mentah begitu saja, meskipun dikemas dengan bahasa yang indah. Kaum Muslimah selama ini sudah menerima kodrat mereka sebagai Ibu dan ridha jika melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Islam tidak melarang wanita aktif di luar rumah, dengan izin suami. Muslimah yakin, aktivitas di dalam maupun di luar rumah, jika dilakukan dengan benar dan sesuai dengan konsep syariat Islam, maka itu bagian dari ibadah kepada Allah. Islam tidak membangun dendam dan semangat permusuhan terhadap kaum laki-laki.
Islam telah menempatkan tugas utama seorang perempuan sebagai Ibu dan pengelola rumah tangga. Seorang perempuan yang tekun mendidik anaknya dan mengelola rumah tangganya dengan baik, tidak lebih rendah martabatnya ketimbang yang aktif dalam politik atau aktivitas publik lainnya. Allah SWT adalah pencipta manusia. Dan Allah tentu lebih tahu fitrah manusia. Allah lebih tahu mana yang baik dan mana yang akan merusak perempuan. Upaya untuk mengubah hukum-hukum Allah pasti akan merusak tatanan masyarakat itu sendiri.
Apalagi, muslim sudah yakin, bahwa dunia ini adalah ujian. Masing-masing menjalankan kewajiban dan haknya. Laki-laki dan perempuan menjalani peran masing-masing, sesuai dengan tuntunan Allah, untuk nantinya dipertanggungjawabkan di Hari Akhir. Iman dan ridha atas peran yang diberikan oleh Allah inilah yang menjadikan seseorang bahagia, di dunia dan akhirat.

-Kesetaraan Gender, Poligami, dan Perempuan
Hari Ibu pada 22 Desember merupakan hari besar nasional yang ditetapkan tahun 1998, setelah adanya peristiwa Kongres Perempuan tahun 1928, saat para perempuan intelek Indonesia berkumpul dalam rangka membebaskan kaum perempuan dari pembodohan dan penjajahan.
Namun, walaupun telah lama diperingati, Hari Ibu masih kurang dianggap penting. Padahal dengan adanya Hari Ibu kita harus menyadari keberadaan dan sumbangsih perempuan Indonesia dalam proses pembangunan dan kemajuan bangsa.
Dalam beberapa tahun belakangan ini masalah yang seringkali diangkat dalam memperingati Hari Ibu adalah kesetaraan gender, poligami, dan peningkatan kesejahteraan perempuan Indonesia. Namun, isu-isu tersebut masih merupakan wacana yang belum dapat dicarikan solusinya.
Wartawan Fokus, San Yasdi, mewawancarai Gregorius Tjaidjadi, Koordinator Komunitas Jaringan Mitra Perempuan (JMP) Bandung, di ruang perpustakaan Gedung Balai Pustaka, Jalan Jawa, Bandung, Selasa (12/12). Laki-laki yang akrab disapa dengan panggilan Rius ini juga seorang akuntan pada sebuah perusahaan swasta di Cimahi.
Berikut petikan wawancaranya:

apakah peran perempuan Indonesia dalam proses pembangunan sudah maksimal dan terlihat jelas?
Secara kuantitas, jumlah perempuan di Indonesia lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Saya tidak dapat menyebutkan angka pasti perbandingannya. Namun, peran serta perempuan dalam kancah kemasyarakatan, saya rasa ada banyak dan mereka memiliki potensi yang sangat besar. Hal ini yang belum dimaksimalkan oleh lingkungan (masyarakat) maupun pemerintah yang berfungsi sebagai lembaga yang harusnya memberikan track ke arah sana. Saya masih melihat perempuan, khususnya perempuan di Indonesia, belum memaksimalkan potensinya dan bahkan sebenarnya dikerdilkan dalam hal potensi.

Contoh pengerdilan yang dimaksud?
Kita dapat mengetahui persis bila kita membicarakan Hari Ibu, maka konsep yang terpikir dalam benak hampir semua orang adalah seorang ibu rumah tangga, yaitu ibu yang melakukan pekerjaan rumah tangga atau bisa disebut pekerjaan domestik. Ketika kita berbicara mengenai ibu, jarang sekali kita membayangkan perempuan-perempuan pekerja yang bekerja dari pagi sampai malam dan hanya ada di rumah pada pagi hari dan malam hari.

Lalu konsep ibu menurut Anda?
Konsep dari seorang ibu yang sejati adalah seorang perempuan yang merupakan guru dalam kehidupan, seseorang yang tangguh, memiliki jati diri yang unik dan memiliki potensi tersendiri tanpa harus dikukung oleh apapun, termasuk oleh stereotipe yang kuat sekali ditananmkan. Maka, sangat arif bila kita mulai membuka celah-celah pengerdilan tersebut supaya jika kita berbicara mengenai perempuan, kita berbicara mengenai seorang manusi seutuhnya. Juga ketika kita berbicara mengenai ibu, kita tidak berbicara mengenai ibu yang hanya melakukan pekerjaan domestik saja sebab banyak sekali ibu yang tidak hanya melakukan pekerjaan domestik. Perempuan juga manusia yang bekerja di wilayah publik. Jadi buat saya, ibu adalah seorang perempuan yang melahirkan saya, mengasuh saya dengan pola asuh apapun itu, yang pasti dia berperan sebagai tokoh atau individu yang mengajar saya tentang kehidupan. Itulah spesialnya ibu menurut saya.

Menyinggung masalah kesehatan, menurut Anda, di Indonesia, kenapa tingkat kematian ibu pascamelahirkan masih tinggi padahal kita tahu bahwa masalah ini selalu terjadi tiap tahun? Apakah pemerintah kurang tanggap dalam mengatasi measlah ini?
Kita tidak dapat selalu menyalahkan pemerintah. Ini bukan hanya soal tingkat kesehatan yang buruk, kurangnya pendidikan dan kurangnya kesadaran. Masalah ini sebenarnya pandangan mengenai ibu yang selalu diidentikkan dengan proses hamil dan melahirkan, sehingga ketika mereka sakit atau meninggal, hal itu dianggap sesuatu yang lumrah karena sudah “kodrat”, padahal masalah itu bukan mengenai kesakitan dan kodrat saja. Perlu diupayakan penyadaran mengenai kesetaraan.

Saya pernah baca di suatu majalah mengenai seorang aktivis perempuan dari Bangladesh yang bernama Tasmil Nasrin. Dia mengaku bahwa dia seorang feminis dan ateis karena tidak suka dengan hal-hal fundamental dari agama tertantu yang mendiskreditkan perempuan. Bagaimana pandangan Anda mengenai feminis yang ateis? Apakah seorang feminis cenderung ateis?
Beragama itu menjadi suatu pilihan dan kenikmatan itu. Buat saya pribadi tidak ada kaitan mengenai seorang feminis dengan ateis. Ketika seseorang mencoba mendobrak suatu ketidakadilan itu merupakan hal yang luar biasa. Kita dapat mengambil contoh Afganistan sebelum pemerintahan Taliban. Perempuan bebas bergerak di wilayah publik. Namun, selama pemerintahan Taliban, para perempuan dijadikan kelas bawah. Laki-laki yang berkuasa. Para perempuan dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan mereka. Akhirnya, terjadilah praktik poligami.

Masuk ke masalah poligami. Bagaimana pandangan Anda mengenai poligami?
Saya mengandaikan masalah ini seperti ini: kita andaikan dengan anak kecil. Ketika dia sedang senang dengan suatu permainan, dia akan terus menggunakan permainan itu sampai dia bosan dan menemukan alternatif pengganti mainan tersebut. Tapi, itu kan barang. Ketika kita sudah mendalami mengenai perasaan atau hati, dan kita sudah berbicara keterikatan seseorang dengan orang lain, maka buat saya menjadi sangat ganjil bila ada orang yang berpoligami, apapun itu embel-embelnya. Saya tidak setuju dengan poligami. Saya hanya ingin masyarakat berpikir mengenai poligami itu. Apakah betul apa dengan berpoligami mereka tidak membuat satu, atau dua bahkan banya pihak menjadi menderita. Secara matematis, pria yang berpoligami harus menghidupi banyak anak dari tiap istrinya. Katakanlah ia dapat menghidupi keluarganya dan hidup bahagia, istri pertamnya juga rela dia menikah lagi, tapi apakah dalam proses “menerima” itu sang istri bahagia. Pasti dia mengalami penderitaan dan juga ketidakadilan. Saya tidak menerima alasan bahwa pria lebih sedikit dibandingkan dengan wanita dan dia dapat seenaknya menikahi perempuan lain dengan alasan keadilan atau supaya mengurangi janda. Bisa saja perempuan yang tidak menikah itu punya jalan hidup sendiri tanpa harus dipaksa menikah atau menghindari stereotipe “tidak menikah berarti tidak laku”. Menurut saya, ada koridor tipis antara memberdayakan perempuan dan memperdaya perempuan. Jadi, cukuplah sampai disitu saja statement saya mengenai ini.

*pertanyaan untuk kawan-kawan sendiri, bagaimana bisa menanggapi dan memahami permasalahan gender ini.

D. Peran Gender
Peran Gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu masyarakat/komunitas yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-tugas atau tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-laki maupun perempuan. Peran gender dapat berubah, dan dipengaruhi oleh umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Baik perempuan maupun laki-laki memiliki peran ganda di dalam masyarakat. Perempuan kerap mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi dan kemasyarakatan. Laki-laki lebih terfokus pada produksi dan politik kemasyarakatan.

E. Bentuk Bentuk Ketidakadilan Gender
Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih tinggi dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidakmengakibatkan diskriminasi atau ketidak adilan. Patokan atau ukuran sederhana yang dapat digunakan untukmengukur apakah perbedaan gender itu menimbulkan ketidakadilan atau tidak adalah sebagai berikut:

Sterotype

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.
Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :

Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.

Perempuan tidak rasional, emosional.

Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.

Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.

Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.


Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
Contoh :

Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga.

Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.

Pelecehan seksual.

Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.


Beban ganda (double burden)

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.

Marjinalisasi

Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :

Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.

Masih banyaknya pekerja perempuan dipabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.

Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan,


Subordinasi

Subordinasi Artinya : suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung.
Contoh :

Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan disbanding laki-laki.

Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.

Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif ).

Konsep dan teori Gender bisa di download di:
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=gender%20adalah&source=web&cd=2&ved=0CCwQFjAB&url=http://lip4.bkkbn.go.id/file.php/1/moddata/forum/9/143/Konsep_dan_Teori_gender.pdf&ei=kYQ0T8CeDpGGrAfautC6Dw&usg=AFQjCNE6RvA8CwG4RHpiJhkc-Y6iPEBgyA
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "GENDER"

Posting Komentar